Selasa, 11 Juni 2019

Pengertian Seni Tari


Tari adalah bentuk pengungkapan ekspresi seorang penari melalui serangkaian gerak ritmis yang selaras dengan irama sesuai dengan maksud dan tujuan tertentu 
·        Fungsi seni tari => sangat berhubungan dengan keadaan masyarakat dan budaya setempat
·        Unsur-unsur tari :
1.       Wirama : pengungkapan ragam gerak tubuh yang selaras dengan dinamika iringan
2.       Wirasa : pengungkapan ragam organ tubuh yang penjiwaannya luluh
3.       Wirupa : ekspresi muka sesuai dengan tema tari yang ditarikan
4.       Wiraga : harmonisnya komposisi ragam gerak
·        Hal-hal dan sikap yang harus dimiliki seorang penari :
·        Keterampilan gerak
·        Daya ingat
·        Rasa irama
·        Kemampuan kreatif
·        Kemampuan dramatis
·        Komposisi tari
a.     Gerak tari
b.     Musik (iringan)
c.      Tema
d.     Tata busana
e.      Tempat pentas
f.       Tata lampu
·        Klasifikasi bentuk sajian tari :
1.       Berdasarkan tema : tari pantomim, tari erotik
2.       Berdasarkan bentuk geraknya : tenga, ruang,waktu
3.       Berdasarkan bentuk penyajiannya : tari tunggal, tari berpasangan, tari kelompok
·        Unsur estetika sajian tari daerah nusantara
1.       Keunikan gerak
a.      Gerakan kaki
b.     Gerakan pinggung,perut,dada,pahu
c.      Gerakan leher dan kepala
d.     Gerakan tangan
2.       Keunikan iringan (musik)
3.       Keunikan kostum (tata busana)

      Ragam tari tunggal daerah nusantara
·        Sifat tari tunggal terdiri atas :
1.       Lirik
2.       Epik
3.       Dramatik
·        Jenis-jenis tari tunggal daerah nusantara
a.      Tari tradisional
b.     Tari rakyat
c.      Tari klasik
d.     Tari kreasi
·        Berbagai tari tunggal daerah nusantara
a.       Tari dewi anjasmara
b.       Tari panji semirang
c.        Tari remo
d.       Tari pendet
e.        Tari kebyar duduk
·        Sikap apresiasif terhadap tari tunggal daerah nusantara
1.       Kriteria kualitas sajian tari
·        Kualitas gerak, ketepatan irama, penjiwaan
·        Wiraga, wirama, wirasa
·        Agem, tandang, tangkep
2.       Memperagakan tari tunggal daerah setempat
·        Gerak pokok
·        Gerak unsur
·        Gerak penghubung
·        Gerak peralihan
·        Gerak pelengkap sisipan

Kerajaan Singasari - Makalah


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Pendiri kerajaan Singasari adalah Ken Arok. Asal-usul Ken Arok sendiri masih belum jelas. Menurut kitab Pararaton, Ken Arok adalah anak seorang petani dari gunung Kawi. Namun dia diasuh oleh Lembong seorang pencuri. Dia dididik agar menjadi penjahat. Pada mulanya, Ken Arok menginginkan istri dari Tunggul Ametung Bupati Tumapel yang bernama Ken Dedes. Karena ambisinya itu, dia membunuh Tunggul Ametung. Setelah Tunggul Ametung meninggal, dia memperistri Ken Dedes dan diangkat menjadi Bupati Tumapel. Pada waktu itu, Tumapel berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Raja Kertajaya. Namun kemudian dia melepaskan Kabupaten Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kediri. Tidak sampai disitu saja, dia menyusun strategi untuk menyerang Kerajaan Kediri. Pada Tahun 1222 para pendeta dari Kerajaan Kediri meminta perlindungan dari perbuatan sewenang-wenang Kertajaya kepada Ken Arok. Ken Arok memanfaatkan kesempatan ini, menyusun barisan, melatih prajurit dan membuat rakyat memberontak Kerajaan Kediri. Setelah semua siap, berangkatlah prajurit Tumapel untuk menyerang Kerajaan Kediri. Akhirnya, perang dasyatpun pecah di Daerah Ganter. Raja Kertajaya beserta prajurit-prajuritnya binasa. Kemudian Ken Arok diangkat menjadi raja dan menyatukan Tumapel dengan bekas Kerajaan Kediri yang kemudian disebut Kerajaan Singasari.
1.2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan materi, akan dibahas mengenai beberapa hal yang terangkum dalam rumusan masalah berikut:
1.      Dimanakah letak kerajaan singasari?
2.      Siapa saja raja-raja yag pernah memimpin di kerajaan Singasari?
3.      Bagaimana kehidupan di kerajaan Singasari?
4.      Apa hubungan kerajaan Singasari dengan Kerajaan Majapahit?
5.      Mengapa kerajaan Singasari bisa runtuh?

1.3.      Tujuan
1.    Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah.
2.    Untuk mendalami tentang Sejarah Kerajaan Singasari.
3.    Untuk memberikan wawasan kepada pembaca tentang Sejarah Kerajaan Singasari.

1.4.      Manfaat
Untuk memberikan pengetahuan baru bagi para pembaca tentang Kerajaan Singasari dan untuk memberikan pengetahuan baru tentang Kehidupan pada waktu Kerajaan Singasari berkuasa.

1.5.      Metode Penulisan
Data penulisan makalah ini diperoleh dengan metode studi kepustakaan. Metode studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka. Selain itu, saya juga memperoleh data dari internet.









BAB 2
PEMBAHASAN

Singasari merupakan salah satu kerajaan yang berhasil menguasai pulau Jawa hingga luar Jawa di masa kejayaannya. Kerajaan Singasari juga dikenal dengan nama Kerjaan Tumapel. Kerajaan ini pertama kali berdiri di tahun 1222. Awalnya kerajaan Singasari merupakan bagian dari Kerajaan Kediri.
Akan tetapi, akuwu dari Tumapel yang saat itu bagian dari Kerajaan Kediri yaitu Tunggul Ametung mati dibunuh oleh Ken Arok. Ken Arok pun kemudian mengangkat dirinya sendiri menjadi pengganti Tunggul Ametung menjadi akuwu.
Keputusan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung yang telah baik mengangkatnya menjadi abdi merupakan akibat dari kebutaan rasa sukanya pada Ken Dedes. Menurut cerita sejarah, Ken Arok jatuh hati pada Ken Dedes karena melihat kecantikannya secara tidak sengaja.
Ken Arok semakin ingin membunuh Tunggul Ametung setelah mengetahui bahwa laki-laki yang memperistri Ken Dedes akan menjadi raja yang besar. Itulah sebabnya, Ken Arok memutuskan untuk membuat keris pada Mpu Gandring. Keris ini dipercaya sangat hebat dan baik kerjanya. Sayangnya, Ken Arok tidak sabaran dan mengambil keris sebelum waktunya selesai. Ken Arok pun gelap mata dan membunuh Mpu Gandring hingga mendapatkan kutukan di akhir nafas Mpu Gandring.
Setelah Ken Arok berhasil menjadi akuwu baru, ia pun mengawini Ken Dedes (istri Tunggul Ametung sebelumnya) dan memperistrinya. Ken Arok pun memutuskan untuk melepaskan Tumapel dari kerajaan Kediri dan mendirikannya sebagai kerajaannya sendiri.
Setelah Tumapel dipimpin oleh Ken Arok, di tahun 1222 terjadilah permasalahan hubungan antara Kertajaya yang merupakan raja dari Kerajaan Kediri dengan kaum Brahmana. Ken Arok pun memanfaatkan keadaan ini dengan menarik kaum Brahmana berada di pihaknya.
Terjadilah peperangan di masa itu di daerah Ganter. Peperangan antara Kerajaan Kediri dengan persatuan kaum Brahmana dan Ken Arok akhirnya dimenangkan oleh Ken Arok. Kaum Brahmana tersebut kemudian mengangkat Ken Arok menjadi raja pertama dan pendiri dari kerajaan Tumapel yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Singasari.
Kerajaan Tumapel kemudian berhasil menyatukan seluruh daerah bagian kerajaan Kediri menjadi bagian dari Kerajaan Singasari. Ibukota dari kerajaan ini pun mengalami pemindahan setelah peperangan yaitu di Gunung Arjuna. Setelah Ken Arok berhasil mendirikan kerajaan Singasari, terjadi pergantian raja-raja sebanyak lima kali.
            Kerajaan besar ini runtuh karena lemahnya sistem pertahanan di dalam kerajaan. Raja Kertanegara terlalu fokus pada pertahanan di luar kerajaan yang mengirimkan pasukan dalam jumlah besar untuk terlibat dalam ekspedisi pamalayu. Kondisi lemah ini dimanfaatkan oleh pemberontak untuk mengakhiri kekuasaan Kertanegara di Kerajaan Singasari. Jayakatwang merupakan pemberontak yang berhasil membunuh Raja Kertanegara dan memaksa tahta Singasari jatuh ke tangannya. Kertanegara kemudian dicandikan di Candi Jawi dan Candi Singasari. Selanjutnya, seorang menantu dari Kertanegara bernama Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri ke Madura saat kerusuhan masih meliputi wilayah Singasari. Raden Wijaya diberi perlindungan oleh seorang bupati dari Madura bernama Arya Wiraraja. Dendam yang dimiliki Raden Wijaya akhirnya membawa dia bergabung dengan pasukan Mongol yang disuruh Kubilai Khan menyerah Singasari. Ternyata Kubilai Khan merasa dihina oleh mertuanya. Namun Raden Wijaya merahasiakan kondisi mertuanya yang telah tewas akibat pemberontakan Jayakatwang. Selanjutnya, Raden Wijaya menyerang Singasari dan Jayakatwang bersama pasukan milik Kubilai Khan. Jayakatwang tewas dalam peperangan gabungan ini dan semenjak itulah tidak ada lagi Kerajaan Singasari. Pemerintahan disana sudah berakhir dan digantikan oleh Raden Wijaya dengan cara mendirikan kekuasan baru di daerah baru dan dengan nama yang baru. Kemenangan Pasukan Kubilai Khan membuat mereka terlalu senang hingga lupa siapa sebenarnya Raden Wijaya yang bergabung dengan pasukannya. Raden Wijaya kemudian balik menyerang pasukan Mongol dan membuat mereka kembali ke wilayah asalnya. Sementara itu, di Jawa Raden Wijaya menuliskan sejarah baru dengan memulai pendirian sejarah kerajaan majapahit yang legendaris.

A.      SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN SINGASARI
Kehidupan politik pada masa Kerajaan Singasari dapat kita lihat dari raja-raja yang pernah memimipinya. Berikut ini adalah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Singasari.
1.      Ken Arok (1222-1227 M)
Ken Arok adalah dikisahkan sebagai putra Gajah Para dari desa Campara (Bacem, Sutojayan, Blitar) dengan seorang wanita desa Pangkur (Jiwut, Nglegok, Blitar) bernama Ken Ndok. "Gajah" adalah nama jabatan setara "wedana" (pembantu adipati) pada era kerajaan Kediri. Sebelum Ken Arok lahir ayahnya telah meninggal dunia saat ia dalam kandungan, dan saat itu Ken Ndok telah direbut oleh raja Kediri. Oleh ibunya, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong. Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri dan gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi dari desa Karuman (sekarang Garum, Blitar) yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan. Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan dan Istri mudanya bernama Thirthaja. Istri muda Bango Samparan mempunyai 5 anak, yaitu Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal, Panji Kenengkung dan yang bungsu wanita bernama Cucupuranti.Ia kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng, sekarang Senggreng, Sumberpucung, Malang.Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri. Akhirnya, Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe,yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya. Berdasarkan Serat Pararaton juga, Ken Arok (disebut pula Ken AÅ‹grok) digambarkan juga sebagai keturunan Dewa Brahma. Hal ini hanya untuk simbolis menggambarkan perbedaan status sosial kognitif si calon raja di kemudian hari daripada anak-anak seusianya saat itu.
Ken Arok menjadi raja Singasari pertama dengan masa pemerintahan tahun 1222 sampai 1227. Dialah yang mendirikan Kerajaan Singasari. Selain itu, dia memiliki gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Dari sini munculah dinasti baru yakni Dinasti Rajasa atau Girinda.
TUMAPEL merupakan salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjadi akuwu (setara camat zaman sekarang) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung.
Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedesakan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.
Ken Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti. Bango Samparan pun memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbang, sekarang Plumbangan, Doko, Blitaryaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh.
Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu setahun. Ken Arok tidak sabar. Lima bulan kemudian ia datang mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke dada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang raja, termasuk Ken Arok sendiri dan anak cucunya.
Kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencananya untuk merebut kekuasaan Tunggul Ametung. Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil.
Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.
Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang kepustusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung,bernama Anusapati, disebut juga Panji Anengah.
Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganaktirikan dirinya, padahal ia merasa sebagai putra tertua. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya Anusapati mengetahui kalau dirinya memang benar-benar anak tiri. Bahkan, ia juga mengetahui kalau ayah kandungnya bernama Tunggul Ametung telah mati dibunuh Ken Arok.
Anusapati berhasil mendapatkan Keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan sore hari. Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak.

2.      Anusapati (1227-1248 M)
Anusapati adalah putra pasangan Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Ayahnya dibunuh oleh Ken Arok sewaktu dirinya masih berada dalam kandungan. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes dan mengambil alih jabatan Tunggul Ametung sebagai akuwu Tumapel. Kemudian pada tahun 1222 Ken Arok mengumumkan berdirinya Kerajaan Tumapel. Ia bahkan berhasil meruntuhkan Kerajaan Kadiri di bawah pemerintahan Kertajaya. Anusapati yang telah tumbuh dewasa merasa kurang disayangi oleh Ken Arok dibanding saudara-saudaranya yang lain. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya ia pun mengetahui bahwa sesungguhnya ia merupakan anak kandung Tunggul Ametung yang mati dibunuh Ken Arok. Anusapati juga berhasil mendapatkan keris buatan Mpu Gandring yang dulu digunakan Ken Arok untuk membunuh ayahnya. Dengan menggunakan keris itu, pembantu Anusapati yang berasal dari Desa Batil berhasil membunuh Ken Arok saat sedang makan malam, pada tahun saka 1168 (tahun 1247 M). Anusapati ganti membunuh pembantunya tersebut untuk menghilangkan jejak. Kepada semua orang ia mengumumkan bahwa pembantunya telah gila dan mengamuk hingga menewaskan raja. Sepeninggal Ken Arok, Anusapati naik takhta pada tahun saka 1170 (tahun 1248 M). Pemerintahannya dilanda kegelisahan karena cemas akan ancaman balas dendam anak-anak Ken Arok. Puri tempat tinggal Anusapati pun diberi pengawalan ketat, bahkan dikelilingi oleh parit dalam. Meskipun demikian, Tohjaya putra Ken Arok dari selir bernama Ken Umang tidak kekurangan akal. Suatu hari ia mengajak Anusapati keluar mengadu ayam. Anusapati menurut tanpa curiga karena hal itu memang menjadi kegemarannya. Saat Anusapati asyik menyaksikan ayam bertarung, tiba-tiba Tohjaya menusuknya dengan menggunakan keris Mpu Gandring. Anusapati pun tewas seketika. Peristiwa itu terjadi pada tahun saka 1171 (tahun 1249 M). Sepeninggal Anusapati, Tohjaya naik takhta. Namun pemerintahannya hanya berlangsung singkat karena ia kemudian tewas pada tahun saka 1172 (tahun 1250 M) akibat pemberontakan Ranggawuni putra Anusapati.
Nama Anusapati hanya terdapat dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Naskah Pararaton ditulis ratusan tahun sesudah zaman Tumapel dan Majapahit. Sedangkan Nagarakretagama ditulis pada pertengahan masa kejayaan Majapahit (1365). Dalam beberapa hal, uraian Nagarakretagama cenderung lebih dapat dipercaya daripada Pararaton, karena waktu penulisannya jauh lebih awal. Jika dalam Pararaton disebutkan Anusapati mati karena dibunuh Tohjaya, maka Nagarakretagama menulis Anusapati mati secara wajar. Ada dua dugaan mengapa Nagarakretagama tidak menceritakan pembunuhan Anusapati. Pertama, karena Nagarakretagama merupakan naskah pujian untuk keluarga Hayam Wuruk. Pembunuhan Anusapati yang merupakan leluhur Hayam Wuruk dianggap sebagai aib. Kedua, mungkin Anusapati memang benar-benar mati secara wajar, bukan karena dibunuh oleh Tohjaya. Nama Anusapati memang tidak pernah dijumpai dalam prasasti apa pun, sedangkan nama Tohjaya ditemukan dalam prasasti Mula Malurung tahun 1255 (hanya selisih tujuh tahun setelah kematian Anusapati). Dalam prasasti itu tokoh Tohjaya disebutkan menjadi raja Kadiri menggantikan adiknya yang bernama Guningbhaya. Jadi, pemberitaan Pararaton bahwa Tohjaya adalah raja Tumapel atau Singhasari adalah keliru. Berdasarkan prasasti tersebut, tokoh Tohjaya mungkin memang tidak pernah membunuh Anusapati sesuai pemberitaan Nagarakretagama. Jika Tohjaya benar-benar melakukan kudeta disertai pembunuhan, maka sasarannya pasti bukan terhadap Anusapati, melainkan terhadap Guningbhaya.
3.      Tohjoyo (1248 M)
Tohjaya adalah putra Ken Arok yang lahir dari selir bernama Ken Umang. Setelah Ken Arok tewas, anak tirinya yang bernama Anusapati naik takhta di Tumapel. Tohjaya mengetahui kalau pembunuh ayahnya tidak lain adalah Anusapati sendiri. Maka, ia pun menyusun rencana balas dendam. Meskipun Anusapati memperketat pengawalan atas dirinya, namun Tohjaya mampu memanfaatkan kelemahannya. Suatu hari Tohjaya mengajak Anusapati menyabung ayam. Anusapati menuruti tanpa curiga karena hal itu memang menjadi kegemarannya. Saat Anusapati asyik memperhatikan ayam aduan yang sedang bertarung, Tohjaya segera membunuhnya dengan menggunakan keris Mpu Gandring. Peristiwa itu terjadi tahun 1249. Tohjaya kemudian menjadi raja Tumapel. Karena hasutan pembantunya yang bernama Pranaraja, ia pun berniat membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni (putra Anusapati), dan Mahisa Campaka (putra Mahisa Wonga Teleng) yang dianggapnya berbahaya terhadap kelangsungan takhta. Yang ditugasi untuk membunuh adalah Lembu Ampal. Namun Lembu Ampal justru berbalik mendukung kedua pangeran yang hendak dibunuhnya. Ia bahkan berhasil menghimpun dukungan dari angkatan perang Tumapel untuk bersama mendukung Ranggawuni - Mahisa Campaka. Maka terjadilah pemberontakan terhadap Tohjaya di istana Tumapel. Tohjaya tertusuk tombak namun berhasil melarikan diri. Karena lukanya itu, ia akhirnya meninggal dunia di desa Katang Lumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan). Peristiwa ini terjadi tahun 1250.
Kisah hidup Tohjaya hanya terdapat dalam Pararaton, namun naskah ini ditulis ratusan tahun sesudah zaman Kerajaan Tumapel sehingga kebenarannya perlu untuk dibuktikan. Nagarakretagama yang ditulis tepat pada pertengahan zaman Majapahit (1365) ternyata sama sekali tidak menyebutkan adanya nama Tohjaya. Menurut Nagarakretagama, sepeninggal Anusapati yang menjadi raja selanjutnya adalah Wisnuwardhana (alias Ranggawuni). Nama Tohjaya justru ditemukan dalam prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan oleh Kertanagara atas perintah ayahnya yang bernama Maharaja Seminingrat (nama asli Wisnuwardhana versi prasasti) tahun 1255. Prasasti ini telah membuktikan kalau Tohjaya merupakan tokoh sejarah yang benar-benar ada, bukan sekadar tokoh fiktif ciptaan Pararaton. Akan tetapi dalam prasasti itu ditulis bahwa Tohjaya bukan raja Tumapel atau Singhasari, melainkan raja Kadiri yang menggantikan adiknya, bernama Guningbhaya. Adapun Guningbhaya menjadi raja setelah menggantikan kakaknya yang bernama Bhatara Parameswara. Ketiga raja Kadiri tersebut merupakan paman dari Seminingrat. Selain itu tertulis pula bahwa pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang wafat di atas takhta kencana, yaitu kakek dari Seminingrat.
Pengganti Tohjaya sebagai raja Tumapel sejak tahun 1250 adalah Ranggawuni bergelar Wisnuwardhana. Namun Nagarakretagama memberitakan bahwa Wisnuwardhana naik takhta sejak 1248 menggantikan Anusapati. Lagi pula prasasti Mula Malurung telah membuktikan kalau Tohjaya adalah raja Kadiri. Prasasti Mula Malurung dikeluarkan tahun 1255 oleh Kertanagara selaku yuwaraja di Kadiri atas perintah dari Seminingrat (Wisnuwardhana), ayahnya di Tumapel. Rupanya Kertanagara mendapat hak atas takhta Kadiri karena ibunya yang bernama Waning Hyun adalah putri Bhatara Parameswara. Nama Mahisa Campaka alias Narasinghamurti putra Bhatara Parameswara memang tidak terdapat dalam prasasti itu. Nama yang mirip adalah Narajaya sepupu Wisnuwardhana yang menjadi raja bawahan di Hering. Kiranya Mahisa Campaka memang tidak memiliki hak atas Kadiri karena mungkin ia hanya sebagai putra bungsu, atau mungkin ia lahir dari selir ayahnya. Karena pada kenyataannya takhta Kadiri jatuh pada Kertanagara putra Waning Hyun, kakak perempuannya. Prasasti Mula Malurung juga menyebutkan kalau Seminingrat mempersatukan kembali Kerajaan Tumapel sepeninggal Tohjaya. Mungkin sepeninggal ayahnya yang tewas di atas takhta, Bhatara Parameswara segera memisahkan Kadiri dari kekuasaan Tumapel. Atau dengan kata lain, ia menolak menjadi bawahan Anusapati. Jadi, di Jawa Timur kemudian terdapat dua buah kerajaan, dan ini berlangsung sampai pemerintahan Tohjaya. Baru sepeninggal Tohjaya, Kadiri kembali dijadikan sebagai negeri bawahan Tumapel oleh Seminingrat dan diserahkan kepada Kertanagara sebagai yuwaraja di sana.
4.      Ranggawuni (1248-1268 M)
Nama asli Wisnuwardhana adalah Ranggawuni putra Anusapati putra Tunggul Ametung. Pada tahun 1249 Anusapati tewas oleh kudeta licik yang dilakukan adik tirinya, bernama Tohjaya putra Ken Arok dari selir. Pada tahun 1250 Tohjaya dihasut pembantunya yang bernama Pranaraja supaya menyingkirkan kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni dan Mahisa Campaka, yang dianggap bisa menjadi musuh berbahaya. Tohjaya kemudian memerintahkan pengawalnya, bernama Lembu Ampal untuk melaksanakan eksekusi. Lembu Ampal gagal melaksanakan tugas karena kedua pangeran tersebut dilindungi oleh seorang pegawai istana bernama Panji Patipati. Karena takut mendapat hukuman dari Tohjaya, Lembu Ampal memilih bergabung dengan kelompok Ranggawuni. Lembu Ampal kemudian melakukan adu domba di dalam tubuh angkatan perang Singhasari sehingga tercipta kekacauan. Karena tidak mampu mendamaikan kerusuhan tersebut, Tohjaya berniat menghukum mati para pemimpin tentaranya. Mendengar keputusan itu, para perwira segera bergabung dengan kelompok Ranggawuni, tentu saja atas ajakan Lembu Ampal. Setelah mendapat dukungan dari kaum tentara, Ranggawuni dan Mahisa Campaka memberontak terhadap kekuasaan Tohjaya. Tohjaya terluka parah dan akhirnya meninggal dalam pelariannya di desa Katang Lumbang. Setelah pemberontakan tersebut, Ranggawuni naik takhta bergelar Wisnuwardhana, sedangkan Mahisa Campaka menjadi Ratu Angabhaya bergelar Narasinghamurti. Adapun Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng, atau cucu Ken Arok. Pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti diibaratkan dua ular dalam satu liang, dan dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian antara keluarga Tunggul Ametung dan keluarga Ken Arok. Pemerintahan Wisnuwardhana berakhir tahun 1272, setahun setelah peresmian pelabuhan Canggu di daerah Mojokerto sekarang.
Wisnuwardhana naik takhta tahun 1248 terbukti dengan ditemukannya prasasti Maribong. Prasasti ini dikeluarkan oleh Wisnuwardhana pada tanggal 23 September 1248. Selain itu, prasasti Mula Malurung (1255) juga menyebutkan bahwa Tohjaya bukan raja Tumapel atau Singhasari, melainkan raja Kadiri. Baik Nagarakretagama ataupun Pararaton mengisahkan Wisnuwardhana menghancurkan pemberontakan Linggapati di Mahibit. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1252. Berita dalam Nagarakretagama bahwa Kertanagara naik takhta tahun 1254 terbukti keliru, karena dalam prasasti Mula Malurung pada tahun 1255 Kertanagara masih menjabat sebagai raja muda di Kadiri, sementara Tumapel atau Singhasari tetap dipimpin Wisnuwardhana. Mungkin yang dimaksud Kertanagara naik takhta tahun 1254 adalah sebagai yuwaraja, bukan sebagai maharaja. Menurut prasasti Mula Malurung, Wisnuwardhana mempersatukan kembali Kerajaan Tumapel dengan Kadiri sepeninggal Tohjaya. Berita ini tidak pernah disinggung dalam Pararaton ataupun Nagarakretagama. Kiranya sepeninggal Ken Arok terjadi perpecahan yang menyebabkan Kadiri pisah dari Tumapel. Tahun kematian Wisnuwardhana menurut Pararaton adalah 1272, sedangkan menurut Nagarakretagama adalah 1270. Kedua naskah menyebutkan Wisnuwardhana dicandikan di Waleri sebagai Siwa dan di Jajagu sebagai Buddha. Namun berdasarkan analisis bukti prasasti, Kertanagara sudah menjadi raja penuh sekitar tahun 1268. Prasasti-prasastinya yang berangka tahun 1267 masih menyebut Kertanagara sebagai raja muda.
Nama Ranggawuni sendiri tidak pernah dijumpai dalam prasasti apa pun sehingga diduga merupakan nama ciptaan Pararaton. Dalam prasasti Mula Malurung (1255) disebutkan kalau ayah dari Kertanagara bernama Seminingrat. Nama Seminingrat juga ditemukan dalam prasasti Maribong (1248) sebagai nama lain Wisnuwardhana. Selain itu prasasti Mula Malurung juga menyebutkan kalau ibu Kertanagara bernama Waning Hyun yang merupakan sepupu Seminingrat sendiri. Dalam Prasasti Wurare (1289), Kertanagara menyebut ibunya bernama Jayawardhani. Jadi, nama Jayawardhani merupakan gelar resmi dari Waning Hyun. Berdasarkan bukti prasasti tersebut, dapat disimpulkan bahwa, nama asli Wisnuwardhana adalah Seminingrat, sedangkan Ranggawuni hanyalah nama ciptaan pengarang Pararaton.
5.      Kertanegara (1268-1292 M)
Banyak orang yang belum mengenal figur kepemimpinan Kertanegara. Kertanegara dilahirkan dari kasta ksatria, Ia merupakan keturunan dari raja-raja yang berkuasa di Singhasari. Kertanegara merupakan raja terakhir yang mampu mengusung Singhasari menuju puncak kejayaannya. Kertanegara adalah anak dari Wisnuwardhana dengan Jayawardhani raja Singhasari yang keempat. Wisnuwardhana adalah anak dari Anusapati, dan Anusapati adalah anak dari Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Jadi, dapat dikatakan bahwa Kertanegara adalah cicit dari Tunggul Ametung. Namun, yang menjadi pendiri sekaligus raja pertama kerajaan Singhasari adalah Ken Angrok. Ken Angrok adalah anak dari Ken Endok, anak desa yang berasal dari sebelah timur gunung kawi. Ia adalah anak yang nakal, suka mencuri, memperkosa bahkan membunuh. Atas anjuran Dahyang Lohgawe, Ia menghamba kepada Tunggul Ametung di Tumapel. Dalam pararaton dijelaskan bahwa, ketika Ken Angrok melihat rahsya (anunya) Ken Dedes yang memancarkan cahaya ketika kainnya tersingkap pada waktu turun dari tandu, menumbuhkan gairah nafsu birahi Ken Angrok, hingga keinginannya untuk mempersunting Ken Dedes kemudian membunuh suaminya yaitu Tunggul Ametung. Setelah berhasil membunuh Tunggul Ametung dan mempersunting Ken Dedes, kemudian Ia menjadi seorang akuwu di Tumapel. Setelah lama menjadi akuwu di Tumapel, suatu hari Ken Angrok didatangi para Brahmana dari Daha Kediri. Mereka datang meminta bantuan kepada Ken Angrok atas tindakan raja Kediri yaitu Kertajaya (dalam sumber babad tanah Jawi disebut prabu Dandang Gendis). Atas desakan kaum brahmana, akhirnya berangkatlah Ken Angrok untuk memberontak kepada Kertajaya dengan menggunakan nama Bathara Guru. Setelah berhasil mengalahkan prabu Dandang Gendis dari Kediri, Ken Angrok dinobatkan menjadi Raja Singhasari dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi atau sebagai Wangsa Girindra, artinya keturunan dari Girindra atau Siwa. Selama berdiri, kerajaan Singhasari diperintah oleh lima raja berturut-turut, baik keturunan dari Tunggul Ametung maupun Ken Angrok. Dalam sejarah Singhasari-Majapahit putra-putri Ken Angrok memegang peranan penting yakni menurunkan raja-raja Singhasari Majapahit, seperti Mahisa Wonga Teleng dan Anusapati. Mahisa Wonga Teleng menurunkan Raden Wijaya yang kemudian menjadi raja pertama Majapahit. Sementara Anusapati menurunkan raja Kertanegara sebagai raja terakhir yang terkemuka di Singhasari). Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa raja yang paling terkemuka diantara raja-raja yang pernah berkuasa di Singhasari adalah Kertanegara. Prasasti “Mula Malurung” yang berangka tahun 1255 M, menerangkan bahwa pada waktu Kertanegara sebagai putra mahkota (Narryan Murdhaja), Ia sebagai raja muda yang memerintah di suatu daerah di bawah bimbingan sang ayah (Wisnuwardhana). Hal ini memberikan inisiatif tersendiri bagi Kertanegara atas pengalaman-pengalamannya menjadi seorang pemimpin serta membentuk karakter sifat Kertanegara.
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan mengirimkan patung Amogapasa ke Dharmasraya atas perintah raja Kertanegara. Tujuannya untuk menguasai Selat Malaka. Selain itu juga menaklukkan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan Barat) dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan dengan raja Champa, dengan tujuan untuk menahan perluasan kekuasaan Kublai Khan dari Dinasti Mongol. Kublai Khan menuntut rajaraja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai utusannya yang bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kublai Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya dengan mengirikan pasukannya ke Jawa. Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi serangan Mongol, maka Jayakatwang menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya - Raja terakhir Kerajaan Kediri. Serangan dilancarakan oleh Jayakatwang dari dua arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti. Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanagera beserta pembesarpembesar istana tewas dalam serangan tersebut. Raden Wijaya (menantu Kertanegara) berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja (Buapati Sumenep). Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang serta diberikan sebidang tanah yang bernama Tanah Terik yang nantinya menjadi asal usul Kerajaan Majapahit. Dengan gugurnya Kertanegara pada tahun 1292, Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirlah kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa-Buddha (Bairawa) di Candi Singasari. Sedangkan arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog, yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.

B.       KEHIDUPAN KERAJAAN SINGASARI
Kerajaan Singasari merupakan salah satu kerajaan Hindu-Budha yang sejak dahulu kala terkenal dengan kisah pahit dibalik kejayaannya. Seperti diketahui Ken Arok mendirikan kerajaan Singasari dengan menggunakan tipu muslihat menggunakan keris dari Mpu Gandring. Keris ini merupakan keris kutukan Mpu Gandring yang disebutkan akan membunuh keturunan Ken Arok hingga tujuh turunan. Faktanya pun hal itu terjadi, Ken Arok dan keturunannya berebutan dan berbunuhan menggunakan keris Mpu Gandring ini. Mengenyampingkan permasalahan mengenai keris Mpu Gandring, penting untuk diketahui bahwa bagaimanakah gambaran kehidupan rakyat kerajaan Singasari dari berbagai aspek kehidupan. Setelah Ken Arok naik menjadi raja keadaan ekonomi rakyat Kerajaan Singasari belum diketahui bagaimana keadaannya. Hanya saja menurut catatan sejarah, rakyat dimasa kepemimpinan Ken Arok mengalami masa-masa yang sejahtera. Rakyat juga diketahui hidup makmur dan rukun. Hal inilah yang kemudian disinyalir menjadi penyebab kaum Brahmana memilih mendukung Ken Arok saat terjadi peperangan dengan Kerajaan Kediri. Sedangkan di masa Anusapati, diketahui bahwa Kerajaan Singasari tidak mengalami kemajuan melainkan kemunduran. Kesejahteraan masyarakat tidak dijaga dan diperhatikan oleh Anusapati. Hobinya dalam melakukan adu ayam membuatnya melupakan pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai raja. Hal inilah yang menyebabkan Anusapati pun meninggal. Karena hobinya beradu ayam, Anusapati tidak memiliki rasa curiga ketika Tohjoyo mengundangnya beradu ayam untuk membunuhnya. Pada masa pemerintahan Tohjoyo yang singkat tidak dapat dinilai bagaimana kondisi kehidupan masyarakat dari beberapa aspek. Hanya saja kehidupan masyarakat terus membaik dengan setelah Ranggawuni menduduki tahta. Kebijaksanaannya mendatangkan banyak kemakmuran yang dirasakan oleh rakyat. Tanggung jawab dan profesionalitas Ranggawuni pun diturunkan hingga masa pemerintahan anaknya Kertanegara. Akhirnya, Kertanegara pun berhasil mewujudkan cita-citanya hingga hampir sempurna. Seperti diketahui Kertanegara berhasil menyatukan Jawa dan Madura hingga Bali dan Nusantara, bahkan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku menjadi satu kerajaan yaitu Kerajaan Singasari.
Dari segi sosial, keihdupan masyarakat Singasari mengalami masalah naik turun. Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, dia berusaha meningkatkan kehiduan masyarakatnya. Banyak daerah-daerah yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada pemerintahan Anusapati, kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian karenaia larut dalam kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan masyarakatnya mulai diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Upaya yang ditempu Raja Kertanegara dapat dilihat daripelaksanaan politik dalam dan luar negeri.
Politik dalam Negeri:
1)      Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih Raganata digantikan oleh Aragani,dll.
2)      Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya.
3)      Memperkuat angkatan perang.
Politik luar Negeri:
1)      Melaksanakan ekspedisi pamalayu untuk menguasai Kerajaan Melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
2)      Menguasai Bali.
3)      Menguasai Jawa Barat.
4)      Menguasai Malaka dan Kalimantan.
Peninggalan kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain berupa prasasti, candi, dan patung. Candi peninggalan Kerajaan Singasari, antara lain Candi Jago, Candi Kidal, dan Candi Singasari. Adapun patung-patung yang berhasil ditemukan sebagai hasil kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain Patung Ken Dedes sebagai Dewi Prajnaparamita lambang dewi kesuburan dan Patung Kertanegara sebagai Amoghapasa. Rakyat Singasari mengalami pasang surut kehidupan sejak zaman Ken Arok sampai masa pemerintahan Wisnuwardhana. Pada masa-masa pemerintahan Ken Arok, kehidupan sosial masyarakat sangat terjamin. Kemakmuran dan keteraturan kehidupan sosial masyarakat Singasari kemungkinan yang menyebabkan para brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok ataskekejaman rajanya. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Anusapati kehidupan masyarakat mulai terabaikan. Hal itu disebabkan raja sangat gemar menyabung ayam hingga melupakan pembangunan kerajaan. Keadaan rakyat Singasari mulai berangsur-angsur membaik setelah Wisnuwardhana naik takhta Singasari. Kemakmuran makin dapat dirasakan rakyat Singasari setelah Kertanegara menjadi raja. Pada masa pemerintahan Kertanegara, kerajaan dibangun dengan baik. Dengan demikian, rakyat dapat hidup aman dan sejahtera. Dengan kerja keras dan usaha yang tidak henti-henti, cita-cita Kertanegara ingin menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah naungan Singasari tercapai juga walaupun belum sempurna. Daerah kekuasaannya, meliputi Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Singosari terdapat 2 agama yang hidup dimasanya Hindu dan Buddha. Konon juga ada aliran Tantrayana yang merupakan campuran antara Hindu dan Budha. Terbukti diantaranya adanya Candi Syiwa-Buddha. Selain itu banyak juga perubahan dalam tubuh kerajaan Singasari diantaranya ialah membentuk badan pelaksana. Kekuasaan tertinggi di tangan raja dan dibawahnya ada tim penasihat yang terdiri dari Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan rakryan i Halu. Kertanegara juga membuat beberapa jabatan untuk membantunya memerintah diantaranya Rakryan Mapatih, Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan. Selain itu, ada pegawai-pegawai rendahan.

C.       KEHIDUPAN EKONOMI
Mengenai kehidupan perekonomian Singosari tidak begitu jelas diketahui. Akan tetapi mengingat kerajaan tersebut terletak di tepi sungai Brantas (Jawa Timur), kemungkinan masalah ekonomi tidak jauh berbeda dari kerajaan – kerajaan terdahulunya, yaitu secara langsung maupun secara tidak langsung rakyat ikut ambil bagian dalam dunia pelayaran. Keadaan ini juga didukung oleh hasil – hasil bumi. Kehidupan ekonominya juga didominasi dengan bertani, berdagang, dan pengrajin. Pada masa itu, perdagangan antarpulau, antarwilayah, bahkan dengan Negara lain sudah terselenggara dengan baik. Tidak banyak sumber prasasti dan berita dari negeri asing yang dapat memberi keterangan secara jelas kehidupan perekonomian rakyat Singasari. Akan tetapi, berdasarkan analisis bahwa pusat Kerajaan Singasari berada di sekitar Lembah Sungai Brantas dapat diduga bahwa rakyat Singasari banyak menggantungkan kehidupan pada sektor pertanian. Keadaan itu juga didukung oleh hasil bumi yang melimpah sehingga menyebabkan Raja Kertanegara memperluas wilayah terutama tempat-tempat yang strategis untuk lalu lintas perdagangan. Keberadaan Sungai Brantas dapat juga digunakan sebagai sarana lalu lintas perdagangan dari wilayah pedalaman dengan dunia luar. Dengan demikian, perdagangan juga menjadi andalan bagi pengembangan perekonomian Kerajaan Singasari. Peninggalan kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain berupa prasasti, candi, dan patung. Candi peninggalan Kerajaan Singasari, antara lain Candi Jago, Candi Kidal, dan Candi Singasari. Adapun patung-patung yang berhasil ditemukan sebagai hasil kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain Patung Ken Dedes sebagai Dewi Prajnaparamita lambang dewi kesuburan dan Patung Kertanegara sebagai Amoghapasa.

D.      HUBUNGAN KERAJAAN SINGASARI DENGAN KERAJAAN LAIN
Ø  KERAJAAN MAJAPAHIT DAN SINGASARI
Pararaton, Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.

Ø  KERAJAAN KEDIRI DAN SINGASARI
Pada masa itu Kertajaya (tahun 1222) mengalami pertentangan dengan kaum Brahmana. Kaum Brahmana menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok, akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri. Perang antara Kerajaan Kediri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Dalam peperangan tersebut Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya masa kejayaan kerajaan Kediri. yang sejak saat itu kemudian Kediri menjadi bawahan Tumapel atau Singoasari. Pada masa Kertanegara hubungan Kediri dan Singasari membaik. Kertanegara membuat upaya dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya dan salah satu upayanya yaitu berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya. Akan tetapi pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Alasan Jayakatwang memberontak terhadap Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu yang mana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan selama satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya. Kedua kerajaan tersebut pun runtuh dengan alasan yang sama, yaitu serangan balas dendam masa lalu.
Ø  KERAJAAN MEDANG KAMULAN DAN SINGASARI
pada tahun 1019, merupakan masa pemimpinan air langga kerajaan medang kamula merupakan satu wilayah. setelah berhasil menjayakan kerajaannya , raja air langga mulai menua dan memutuskan untuk turun dari tahtanya dan memberikan pada anak-anaknya. seharusnya yang menjadi raja adalah putrinya yang bernama sri sanggramawijaya namun dia lebih memilih untuk menjadi petama. kekuasaan di berikan pada anak lainnya. untuk mencegak terjadinya perebutan kekuasaan raja air langga memecah kerajaan medang kamula menjadi dua bagian yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. namun usaha tersebut berbuah sia-sia. kedua kerajaan tersebut saling menyerang satu sama lain hingga jatuhnya kerajaan janggala oleh kerajaan kediri dan di satukan kembali menjadi kerjaan kediri.
Ø  KERAJAAN MONGOL DAN SINGASARI
Mula-mula, utusan tersebut tidak dihiraukan oleh Kertanegara. Akan tetapi, tuntutan dari utusan Kubilai Khan tahun 1289, yang bernama Meng Chi, oleh Kertanegara ditolak mentah-mentah. Utusan Cina tersebut dilukai mukanya oleh Kertanegara. Perlakuan Kertanegara tersebut dianggap oleh Kubilai Khan sebagai penghinaan dan pernyataan perang Singasari atas kerajaaan Mongol. Tiga tahun kemudian, yaitu tahun1292, Kubilai Khan mengirimkan pasukan ke Jawa yang dipimpin oleh tiga orang panglima perang, Shun-pi, Ihen-mi-shin, dan Kau Hsing. Untuk menghadapi serangan tersebut tentara Singasari dikerahkan ke pantai-pantai utara. Ada beberapa penyebab dari munculnya perselisihan antara kedua kerajaan ini, yaitu; 1. Timbulnya Dendam lama Namun, peperangan antara pasukan Singasari dengan tentara Cina tidak sempat terjadi karena sebelum tentara Cina tiba di Jawa timbul serangan dari pasukan raja Jayakatwang, salah seorang keturunan raja Kertajaya (Kediri), yang menuntut balas dendam kepada keluarga raja Singasari atas kematian leluhurnya yang dilakukan oleh Ken Arok, pendiri kerajaan Singasari. Rupanya setelah Kertajaya mati, kerajaan Kediri masih tetap berdiri sebagai bawahan Singasari. 2. Jalannya Perang Jayakatwang Vs Kertanegara Menurut Kitab Pararaton, serangan Jayakatwang dilakukan pada bulan Mei dan Juni 1292 dari dua arah, utara dan selatan. Serangan dari utara dimaksudkan untuk menarik pasukan Singasari keluar dari keraton. Pasukan Singasari yang dipimpin oleh menantu Kertanegara dan cucu Mahesa Cempaka, yaitu Raden Wijaya berhasil dipancing keluar dan terus mengejar pasukan Jayakatwang yang terus mundur. Dalam keadaan keraton terbuka dari penjagaan pasukan Raden Wijaya, pasukan Jayakatwang dari arah selatan berhasil masuk keraton dan membunuh raja Kertanegara dan bersama peMbesar keraton. Dengan terbunuhnya Kertanegara, berakhirlah kerajaan Singasari. Kertanegara dicandikan di salah satu tempat yang disebut Singasari. 3. Kekalahan Kertanegara Menurut prasasti Kurdadu, setelah terbunuhnya Kertanegara, Raden Wijaya menyelamatkan diri dengan menyeberang ke Madura berkat bantuan lurah desa Kurdadu. Di sana, dia mendapat perlindungan dari Aryawiraraja. Atas jaminan Aryawiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dari Jayakatwang. Sebagai tanda pengampunannya, akhirnya Raden Wijaya diberi sebidang tanah oleh Jayakatwang di daerah Tarik yang kemudian dikembangkannya menjadi sebuah desa yang diberinya nama Majapahit. Desa tersebut menjadi cikal bakal kerajaan Majapahit.

PENINGGALAN KERAJAAN SINGASARI
v  Candi Singasari
Candi Singhasari merupakan candi Hindu - Buddha peninggalan bersejarah dari Kerajaan Singhasari berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia, sekitar 10 km dari Kota Malang. Candi ini berada pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna pada ketinggian 512m di atas permukaan laut. Cara pembuatan Candi Singhasari ini menggunakan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. Candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Kertanegara, yang mangkat pada tahun 1292 akibat istananya diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin Jayakatwang. Kuat dugaan, Candi ini tidak pernah selesai dibangun.[1] Kapan tepatnya Candi Singhasari didirikan masih belum diketahui, namun para ahli purbakala memperkirakan Candi ini dibangun sekitar tahun 1300 M, sebagai persembahan untuk menghormati Raja Kertanegara dari Singhasari. Setidaknya ada dua candi di Jawa Timur yang dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, yaitu Candi Jawi dan Candi Singhasari. Sebagaimana halnya Candi Jawi, Candi Singhasari juga merupakan candi Syiwa. Hal ini terlihat dari adanya beberapa arca Syiwa di halaman Candi. Komplek percandian menempati areal 200 m × 400 m dan terdiri dari beberapa candi. Candi yang juga dikenal dengan nama Candi Cungkup atau Candi Menara ini, menunjukkan bahwa Candi Singasari adalah candi yang tertinggi pada masanya, setidaknya dibandingkan dengan candi lain di sekelilingnya. Namun saat ini di kawasan Singhasari hanya Candi Singhasari yang masih tersisa, sedangkan candi lainnya telah lenyap tak berbekas. Bangunan Candi Singasari terletak di tengah halaman. Tubuh candi berdiri di atas batur kaki setinggi sekitar 1,5 m, tanpa hiasan atau relief pada kaki candi. Tangga naik ke selasar di kaki candi tidak diapit oleh pipi tangga dengan hiasan makara seperti yang terdapat pada candi-candi lain. Pintu masuk ke ruangan di tengah tubuh candi menghadap ke selatan, terletak pada sisi depan bilik penampil (bilik kecil yang menjorok ke depan). Pintu masuk ini terlihat sederhana tanpa bingkai berhiaskan pahatan. Di atas ambang pintu terdapat pahatan kepala Kala yang juga sangat sederhana pahatannya. Adanya beberapa pahatan dan relief yang sangat sederhana menimbulkan dugaan bahwa pembangunan Candi Singhasari belum sepenuhnya terselesaikan. Di kiri dan kanan pintu bilik pintu, agak ke belakang, terdapat relung tempat arca. Ambang relung juga tanpa bingkai dan hiasan kepala Kala. Relung serupa juga terdapat di ketiga sisi lain tubuh Candi Singhasari. Ukuran relung lebih besar, dilengkapi dengan bilik penampil dan di atas ambangnya terdapat hiasan kepala Kala yang sederhana. Di tengah ruangan utama terdapat yoni yang sudah rusak bagian atasnya. Pada kaki yoni juga tidak terdapat pahatan apapun. Sepintas bangunan Candi Singasari terlihat seolah bersusun dua, karena bagian bawah atap candi berbentuk persegi, menyerupai ruangan kecil dengan relung di masing-masing sisi. Tampaknya relung-relung tersebut semula berisi arca, namun saat ini kempatnya dalam keadaan kosong. Di atas setiap ambang 'pintu' relung terdapat hiasan kepala Kala dengan pahatan yang lebih rumit dibandingkan dengan yang ada di atas ambang pintu masuk dan relung di tubuh candi. Puncak atap sendiri berbentuk meru bersusun, makin ke atas makin mengecil. Sebagian puncak atap terlihat sudah runtuh. Di bagian dalam Candi Singosari terdapat sebuah ruangan yang digunakan untuk menempatkan sebuah arca Lingga dan Yoni. Sedangkan pada tiap sisinya terdapat arca Ganesha di sebelah timur, arca Resi Agastya di sisi selatan, dan arca Durga di sisi sebelah utara, sayang arca-arca yang ada hanya tinggal arca Agastya, sedangkan yang lain sudah tidak ada. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut Dwarapala) dan posisi gada menghadap ke bawah, ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan. Letak candi Singhasari yang dekat dengan kedua arca Dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha (atau Ganapati) sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori (atau GaurÄ«). Karena letak candi Singhasari yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke Gunung Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu. Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujur sangkar berukuran 14 m × 14 m dan tinggi candi 15 m. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.
v  Candi Jago
Nama Candi Jago sebenarnya berasal dari kata "Jajaghu", yang didirikan pada masa Kerajaan Singhasari pada abad ke-13. Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci. Candi ini berlokasi di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur atau sekitar 22 km dari Kota Malang, pada koordinat 8°0′20.81″S 112°45′50.82″E. Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini. Secara keseluruhan bangunan Candi ini tersusun atas bahan batu andesit. Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago tampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau Pagoda. Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Khresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana). Pada sudut kiri (barat laut) Candi Jago terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang. Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha. Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa terkabul. Salah satu patung yang awalnya terdapat pada Candi Jago, yang merupakan perlambangan Dewi Bhrkuti Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca. Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.
v  Candi Sumberawan
Candi Sumberawan hanya berupa sebuah stupa, berlokasi di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu. Candi ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran panjang 6,25 m, lebar 6,25 m, dan tinggi 5,23 m, dibangun pada ketinggian 650 m di atas permukaan laut, di kaki bukit Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi Rawan. Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904. Pada tahun 1935 diadakan kunjungan oleh peneliti dari Dinas Purbakala. Pada zaman Hindia Belanda pada tahun 1937 diadakan pemugaran pada bagian kaki candi, sedangkan sisanya direkonstruksi secara darurat. Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa Timur. Batur candi berdenah bujur sangkar, tidak memiliki tangga naik dan polos tidak berelief. Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang. Karena ada beberapa kesulitan dalam perencanaan kembali bagian teratas dari tubuh candi, maka terpaksa bagian tersebut tidak dipasang kembali. Diduga dulu pada puncaknya tidak dipasang atau dihias dengan payung atau chattra, karena sisa-sisanya tidak ditemukan sama sekali. Candi Sumberawan tidak memiliki tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan untuk menyimpan benda suci. Jadi, hanya bentuk luarnya saja yang berupa stupa, tetapi fungsinya tidak seperti lazimnya stupa yang sesungguhnya. Diperkirakan candi ini dahulu memang didirikannya untuk pemujaan. Para ahli purbakala memperkirakan Candi Sumberawan dulunya bernama Kasurangganan, sebuah nama yang terkenal dalam kitab Negarakertagama. Tempat tersebut telah dikunjungi Hayam Wuruk pada tahun 1359 masehi, sewaktu ia mengadakan perjalanan keliling. Dari bentuk-bentuk yang tertulis pada bagian batur dan dagoba (stupanya) dapat diperkirakan bahwa bangunan Candi Sumberawan didirikan sekitar abad 14 sampai 15 masehi yaitu pada periode Majapahit. Bentuk stupa pada Candi Sumberawan ini menunjukkan latar belakang keagamaan yang bersifat Buddhisme.
v  Arca Dwarapala
Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau monster. Biasanya dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat di dalamnya. Dwarapala biasanya digambarkan sebagai makhluk yang menyeramkan. Bergantung pada kemakmuran suatu kuil, jumlah arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok. Dwarapala terbesar di Jawa terdapat di Singosari terbuat dari batu andesit utuh setinggi 3,7 meter. Di Pulau Jawa dan Bali arca dwarapala biasanya diukir dari batu andesit, berperawakan gemuk dan digambarkan dalam posisi tubuh setengah berlutut, menggenggam senjata gada. Sedangkan dwarapala di Kamboja dan Thailand memiliki perawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus memegang gada di tengah tepat di antara kedua kakinya. Patung dwarapala di Thailand dibuat dari tembikar tanah liat yang dilapisi glazur pucat susu. Patung seperti ini dibuat pada masa Kerajaan Sukhothai dan Ayutthaya (abad ke-14 hingga ke-15) diproduksi oleh beberapa tempat pembakaran tembikar di Thailand utara.[1] Bangunan suci yang kecil biasanya memiliki hanya satu arca dwarapala. Sering kali dwarapala diletakkan berpasangan di antara gerbang masuk. beberapa situs bangunan suci yang lebih besar memiliki empat, delapan, bahkan dua belas arca dwarapala yang menjaga empat penjuru mata angin sebagai Lokapala, dewa penjaga empat atau delapan penjuru mata angin. Dalam budaya Jawa, dwarapala dijadikan figur penjaga keraton, misalnya dapat ditemukan di gerbang masuk Keraton Yogyakarta dan gerbang Kamandungan Lor Keraton Surakarta.
v  Prasasti Manjusri
Prasasti Manjusri merupakan manuskrip yang dipahatkan pada bagian belakang Arca Manjusri, bertarikh 1343, pada awalnya ditempatkan di Candi Jago (sekarang tersimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D. 214). Candi Jago atau Candi Tumpang atau Candi Jinalaya (pura) merupakan tempat asalnya patung Manjusri ini[1]. Candi tersebut mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara untuk menghormati ayahandanya, raja Wisnuwardhana yang mangkat pada tahun 1268. Berdasarkan tafsiran Bosch dari tulisan pada prasasti tersebut, kemungkinan Adityawarman mendirikan candi tambahan di lapangan Candi Jago tersebut, atau mungkin pula candi yang didirikan tahun 1280 sudah runtuh dan digantikan dengan candi baru. Tidak adanya sisa-sisa bangunan besar di samping Candi Jago yang sekarang, sehingga menunjukkan penjelasan yang kedua lebih masuk akal. Hal ini didukung pula oleh gaya relief dan ukiran pada candi tersebut, menurut analisis Stutterheim, membuktikan bahwa candi yang sekarang ini lebih baru daripada abad ke-13[2]. Karakter Manjusri dianggap sebagai personifikasi dari kebijaksanaan transenden. Dia duduk di atas takhta berhiasan teratai yang gemerlapan, pada tangan kirinya ia memegang sebuah buku (sebuah naskah daun palem), tangan kanannya memegang pedang (yang bermakna untuk melawan kegelapan), dan pada dadanya dilingkari tali. Ia juga dikelilingi oleh empat dewa, yang semuanya bermakna replika dirinya sendiri.
v  Prasasti Mula Malurung
Prasasti Mula Malurung adalah piagam pengesahan penganugrahan desa Mula dan desa Malurung untuk tokoh bernama Pranaraja. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan Kertanagara pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya Wisnuwardhana raja Singhasari. Kumpulan lempengan Prasasti Mula Malurung ditemukan pada dua waktu yang berbeda. Sebanyak sepuluh lempeng ditemukan pada tahun 1975 di dekat kota Kediri, Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Mei 2001, kembali ditemukan tiga lempeng di lapak penjual barang loak, tak jauh dari lokasi penemuan sebelumnya. Pranaraja yang mendapat hadiah desa Mula dan desa Malurung disebutkan sebagai seorang pegawai kerajaan Kadiri yang setia dan rajin. Ia mengabdi pada tiga raja sebelum Kertanagara, yaitu Bhatara Parameswara, Guningbhaya, dan Tohjaya. Adapun Kertanagara saat itu (1255) baru menjadi raja bawahan di Kadiri, belum menjadi raja Singhasari. Hadiah untuk Pranaraja telah dijanjikan oleh Seminingrat raja Tumapel. Seminingrat lalu memerintahkan putranya, Kertanagara untuk melaksanakannya. Seminingrat merupakan nama lain dari Raja Wisnuwardhana. Tokoh bernama Pranaraja juga ditemukan dalam Pararaton, yaitu nama seorang pembantu Tohjaya yang mengusulkan supaya Ranggawuni dan Mahisa Campaka dibunuh. Namun pengarang Pararaton mengisahkan Pranaraja sebagai seorang penghasut.
v  Prasasti Singasari
Prasasti Singasari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah. Ditulis dengan Aksara Jawa. Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi pemakaman yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada. Paruh pertama prasasti ini merupakan pentarikhan tanggal yang sangat terperinci, termasuk pemaparan letak benda-benda angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud prasasti ini, yaitu sebagai pariwara pembangunan sebuah caitya.
v  Candi Jawi
Candi Jawi (nama asli: Jajawa) adalah candi yang dibangun sekitar abad ke-13 dan merupakan peninggalan bersejarah Hindu-Buddha Kerajaan Singhasari yang terletak di terletak di kaki Gunung Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia, sekitar 31 kilometer dari kota Pasuruan. Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan - Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan tempat pedharmaan atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja Kertanegara. Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama Siwa-Buddha. Raja Kartanegara adalah seorang penganut ajaran sinkretisme Siwa-Buddha. Alasan Kertanegara membangun candi Jawi jauh dari pusat kerajaan diduga karena di kawasan ini pengikut ajaran Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama, misalnya, menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana Bayangkara. Negarakertagama mencatat adanya pemberontakan Cayaraja. Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan basis oleh pendukung Kertanegara. Dugaan ini timbul dari kisah sejarah bahwa saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), dia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.
v  Prasasti Wurare
Prasasti Wurare adalah sebuah prasasti yang isinya memperingati penobatan arca Mahaksobhya di sebuah tempat bernama Wurare (sehingga prasastinya disebut Prasasti Wurare). Prasasti ditulis dalam bahasa Sansekerta, dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289. Arca tersebut sebagai penghormatan dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari kerajaan Singhasari, yang dianggap oleh keturunannya telah mencapai derajat Jina (Buddha Agung). Sedangkan tulisan prasastinya terletak di alas lapik arca Buddha tersebut, yang ditulis melingkar pada bagian bawahnya. Prasasti berbentuk sajak 19 bait, yang di antaranya menceritakan tentang seorang pendeta sakti bernama Arrya Bharad, yang membelah tanah Jawa menjadi dua kerajaan dengan air ajaib dari kendinya, sehingga masing-masing belahan menjadi Janggala dan Pangjalu. Pembelahan dilakukan untuk menghindari perang saudara antara dua pangeran yang ingin berperang memperebutkan kekuasaan. Arca mulanya ditemukan di daerah Kandang Gajak. Kandang Gajak termasuk dalam wilayah desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Pada tahun 1817, arca dipindahkan ke Surabaya oleh Residen Baron A.M. Th. de Salis, dan saat ini terdapat di Taman Apsari, dekat pusat Kota Surabaya, Jawa Timur.
v  Candi Kidal
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring. Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan. Sampai sekarang candi masih terjaga dan terawat. Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana. Dari daftar buku pengunjung yang ada tampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata. Namun candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi tampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil. Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal tampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan tampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi. Di sekeliling candi terdapat sisa-sisa fondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi, tampak candi kompleks Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang ini. Apakah dataran candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam seperti banjir atau gunung meletus tidak dapat diketahui dengan pasti. Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan. Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta. Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng utara G. Lawu). Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai dewa Wisnu pada candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu di atas Garuda paling indah sekarang masih tersimpan di museum Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan. Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh. Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang di antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama). Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu". Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti tampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk di atas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua). Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb. Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep Dewaraja yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal. Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan Anusapati?. Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama. Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen – Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya. Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel melihat mengeluarkan sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisi Ken Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya daripada Ken Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan. Berlandaskan uraian di atas, maka pemberian relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.
























BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian materi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan jika Kerajaan Singasari itu terletak di daerah Tumapel, yang di kuasai oleh seorang akuwu (bupati). Letaknya di daerah pegunungan yang subur di wilayah Malang dengan pelabuhan bernama Pasuruan. Dari daerah inilah Kerajaan Singasari berkembang dan bahkan menjadi sebuah kerajaa besar di Jawa Timur. Kerajaan Sigasari dipimpin oleh raja-raja termasyur seperti : Ken arok, Anusapati, Tohjoyo, Ranggawuni dan Kertanegara. .Dari segi sosial, kehidupan masyarakat Singasari mengalami masa naik turun dan seringkali mengalami berbagai masalah, namun hal itu selalu bisa di atasi. Runtuhnya Singasari diawali dengan adanya sengketa yang terjadi dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan. Hubungan antara Singasari dan Majapahit adalah setelah Singasari runtuh maka di bangunlah kerajaan Majapahit sebagai kelanjutannya. Jadi perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang terjadi dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan. Pada saat itu Kerajaan Singasari sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa. Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari pun berakhir.