BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendiri kerajaan Singasari adalah Ken
Arok. Asal-usul Ken Arok sendiri masih belum jelas. Menurut kitab Pararaton,
Ken Arok adalah anak seorang petani dari gunung Kawi. Namun dia diasuh oleh
Lembong seorang pencuri. Dia dididik agar menjadi penjahat. Pada mulanya, Ken
Arok menginginkan istri dari Tunggul Ametung Bupati Tumapel yang bernama Ken
Dedes. Karena ambisinya itu, dia membunuh Tunggul Ametung. Setelah Tunggul
Ametung meninggal, dia memperistri Ken Dedes dan diangkat menjadi Bupati
Tumapel. Pada waktu itu, Tumapel berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kediri yang
dipimpin oleh Raja Kertajaya. Namun kemudian dia melepaskan Kabupaten Tumapel
dari kekuasaan Kerajaan Kediri. Tidak sampai disitu saja, dia menyusun strategi
untuk menyerang Kerajaan Kediri. Pada Tahun 1222 para pendeta dari Kerajaan
Kediri meminta perlindungan dari perbuatan sewenang-wenang Kertajaya kepada Ken
Arok. Ken Arok memanfaatkan kesempatan ini, menyusun barisan, melatih prajurit
dan membuat rakyat memberontak Kerajaan Kediri. Setelah semua siap,
berangkatlah prajurit Tumapel untuk menyerang Kerajaan Kediri. Akhirnya, perang
dasyatpun pecah di Daerah Ganter. Raja Kertajaya beserta prajurit-prajuritnya
binasa. Kemudian Ken Arok diangkat menjadi raja dan menyatukan Tumapel dengan
bekas Kerajaan Kediri yang kemudian disebut Kerajaan Singasari.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan materi, akan dibahas mengenai
beberapa hal yang terangkum dalam rumusan masalah berikut:
1.
Dimanakah letak kerajaan singasari?
2.
Siapa saja raja-raja yag pernah memimpin di kerajaan
Singasari?
3.
Bagaimana kehidupan di kerajaan Singasari?
4.
Apa hubungan kerajaan Singasari dengan Kerajaan
Majapahit?
5.
Mengapa kerajaan Singasari bisa runtuh?
1.3. Tujuan
1.
Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah.
2.
Untuk mendalami tentang Sejarah Kerajaan Singasari.
3.
Untuk memberikan wawasan kepada pembaca tentang Sejarah
Kerajaan Singasari.
1.4. Manfaat
Untuk memberikan pengetahuan baru bagi para
pembaca tentang Kerajaan Singasari dan untuk memberikan pengetahuan baru
tentang Kehidupan pada waktu Kerajaan Singasari berkuasa.
1.5. Metode Penulisan
Data penulisan makalah ini diperoleh dengan
metode studi kepustakaan. Metode studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan
membaca telaah pustaka. Selain itu, saya juga memperoleh data dari internet.
BAB 2
PEMBAHASAN
Singasari merupakan salah satu kerajaan yang
berhasil menguasai pulau Jawa hingga luar Jawa di masa kejayaannya. Kerajaan
Singasari juga dikenal dengan nama Kerjaan Tumapel. Kerajaan ini pertama kali
berdiri di tahun 1222. Awalnya kerajaan Singasari merupakan bagian dari
Kerajaan Kediri.
Akan tetapi, akuwu dari Tumapel yang saat itu
bagian dari Kerajaan Kediri yaitu Tunggul Ametung mati
dibunuh oleh Ken Arok. Ken Arok pun kemudian mengangkat dirinya sendiri menjadi
pengganti Tunggul Ametung menjadi akuwu.
Keputusan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung yang
telah baik mengangkatnya menjadi abdi merupakan akibat dari kebutaan rasa
sukanya pada Ken Dedes. Menurut cerita sejarah, Ken Arok jatuh hati pada Ken
Dedes karena melihat kecantikannya secara tidak sengaja.
Ken Arok
semakin ingin membunuh Tunggul Ametung setelah mengetahui bahwa laki-laki yang
memperistri Ken Dedes akan menjadi raja yang besar. Itulah sebabnya, Ken Arok
memutuskan untuk membuat keris pada Mpu Gandring. Keris ini dipercaya sangat
hebat dan baik kerjanya. Sayangnya, Ken
Arok tidak sabaran dan mengambil keris sebelum waktunya selesai. Ken Arok pun
gelap mata dan membunuh Mpu Gandring hingga mendapatkan kutukan di akhir nafas
Mpu Gandring.
Setelah Ken
Arok berhasil menjadi akuwu baru, ia pun mengawini Ken Dedes (istri Tunggul
Ametung sebelumnya) dan memperistrinya. Ken Arok pun memutuskan untuk
melepaskan Tumapel dari kerajaan Kediri dan mendirikannya sebagai kerajaannya
sendiri.
Setelah
Tumapel dipimpin oleh Ken Arok, di tahun 1222 terjadilah
permasalahan hubungan antara Kertajaya yang merupakan raja dari Kerajaan Kediri
dengan kaum Brahmana. Ken Arok pun memanfaatkan keadaan ini dengan menarik kaum
Brahmana berada di pihaknya.
Terjadilah
peperangan di masa itu di daerah Ganter. Peperangan antara Kerajaan Kediri
dengan persatuan kaum Brahmana dan Ken Arok akhirnya dimenangkan oleh Ken Arok.
Kaum Brahmana tersebut kemudian mengangkat Ken Arok menjadi raja pertama dan
pendiri dari kerajaan Tumapel yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Singasari.
Kerajaan
Tumapel kemudian berhasil menyatukan seluruh daerah bagian kerajaan Kediri
menjadi bagian dari Kerajaan Singasari. Ibukota dari kerajaan ini pun mengalami
pemindahan setelah peperangan yaitu di Gunung Arjuna. Setelah Ken Arok berhasil
mendirikan kerajaan Singasari, terjadi pergantian raja-raja sebanyak lima kali.
Kerajaan besar ini runtuh
karena lemahnya sistem pertahanan di dalam kerajaan. Raja Kertanegara terlalu
fokus pada pertahanan di luar kerajaan yang mengirimkan pasukan dalam jumlah
besar untuk terlibat dalam ekspedisi pamalayu. Kondisi lemah ini dimanfaatkan
oleh pemberontak untuk mengakhiri kekuasaan Kertanegara di Kerajaan Singasari.
Jayakatwang merupakan pemberontak yang berhasil membunuh Raja Kertanegara dan
memaksa tahta Singasari jatuh ke tangannya. Kertanegara kemudian dicandikan di
Candi Jawi dan Candi Singasari. Selanjutnya, seorang menantu dari Kertanegara
bernama Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri ke Madura saat kerusuhan masih
meliputi wilayah Singasari. Raden Wijaya diberi perlindungan oleh seorang
bupati dari Madura bernama Arya Wiraraja. Dendam yang dimiliki Raden Wijaya
akhirnya membawa dia bergabung dengan pasukan Mongol yang disuruh Kubilai Khan
menyerah Singasari. Ternyata Kubilai Khan merasa dihina oleh mertuanya. Namun
Raden Wijaya merahasiakan kondisi mertuanya yang telah tewas akibat
pemberontakan Jayakatwang. Selanjutnya, Raden Wijaya menyerang Singasari dan
Jayakatwang bersama pasukan milik Kubilai Khan. Jayakatwang tewas dalam
peperangan gabungan ini dan semenjak itulah tidak ada lagi Kerajaan Singasari.
Pemerintahan disana sudah berakhir dan digantikan oleh Raden Wijaya dengan cara
mendirikan kekuasan baru di daerah baru dan dengan nama yang baru. Kemenangan
Pasukan Kubilai Khan membuat mereka terlalu senang hingga lupa siapa sebenarnya
Raden Wijaya yang bergabung dengan pasukannya. Raden Wijaya kemudian balik
menyerang pasukan Mongol dan membuat mereka kembali ke wilayah asalnya.
Sementara itu, di Jawa Raden Wijaya menuliskan sejarah baru dengan memulai
pendirian sejarah kerajaan majapahit yang legendaris.
A.
SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN SINGASARI
Kehidupan politik pada masa
Kerajaan Singasari dapat kita lihat dari raja-raja yang pernah memimipinya.
Berikut ini adalah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Singasari.
1.
Ken Arok (1222-1227 M)
Ken Arok
adalah dikisahkan sebagai putra Gajah Para dari desa Campara (Bacem, Sutojayan, Blitar) dengan seorang wanita desa Pangkur (Jiwut, Nglegok, Blitar) bernama Ken Ndok. "Gajah"
adalah nama jabatan setara "wedana" (pembantu adipati) pada era
kerajaan Kediri. Sebelum Ken
Arok lahir ayahnya telah meninggal dunia saat ia dalam kandungan, dan saat itu
Ken Ndok telah direbut oleh raja Kediri. Oleh ibunya, bayi Ken Arok dibuang di
sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri
bernama Lembong. Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai
mencuri dan gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang.
Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang
penjudi dari desa Karuman (sekarang Garum, Blitar) yang menganggapnya sebagai pembawa
keberuntungan. Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango
Samparan dan Istri mudanya bernama Thirthaja. Istri muda Bango
Samparan mempunyai 5 anak, yaitu Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal, Panji
Kenengkung dan yang bungsu wanita bernama Cucupuranti.Ia kemudian bersahabat
dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng, sekarang Senggreng,
Sumberpucung, Malang.Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh
kawasan Kerajaan
Kadiri. Akhirnya, Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe,yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari
ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang
dicarinya. Berdasarkan Serat Pararaton juga, Ken Arok (disebut pula Ken
AÅ‹grok) digambarkan juga sebagai keturunan Dewa Brahma. Hal ini hanya untuk
simbolis menggambarkan perbedaan status sosial kognitif si calon raja di
kemudian hari daripada anak-anak seusianya saat itu.
Ken
Arok menjadi raja Singasari pertama dengan masa pemerintahan tahun 1222 sampai
1227. Dialah yang mendirikan Kerajaan Singasari. Selain itu, dia memiliki gelar
Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Dari sini munculah dinasti baru yakni
Dinasti Rajasa atau Girinda.
Ken Arok
kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi Lohgawe juga
meramalkan kalau Ken Dedesakan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat
untuk merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.
Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh
dalam waktu setahun. Ken Arok tidak sabar. Lima bulan kemudian ia datang
mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke
dada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan
kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang raja, termasuk Ken Arok
sendiri dan anak cucunya.
Kembali
ke Tumapel, Ken Arok
menjalankan rencananya untuk merebut kekuasaan Tunggul Ametung. Mula-mula ia
meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo
dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia
temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo.
Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil.
Malam
berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang
mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas
ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya.
Namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah
dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.
Pagi harinya,
Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri
sebagai akuwu baru di Tumapel dan
menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang
kepustusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung
anak Tunggul Ametung,bernama Anusapati, disebut juga Panji
Anengah.
Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang
seolah menganaktirikan dirinya, padahal ia merasa sebagai putra tertua. Setelah
mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya Anusapati mengetahui
kalau dirinya memang benar-benar anak tiri. Bahkan, ia juga mengetahui kalau
ayah kandungnya bernama Tunggul Ametung telah mati dibunuh Ken Arok.
Anusapati berhasil mendapatkan Keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian
menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Ken
Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan sore hari. Anusapati ganti
membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak.
2.
Anusapati (1227-1248 M)
Anusapati adalah putra pasangan Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Ayahnya
dibunuh oleh Ken Arok sewaktu dirinya masih berada dalam kandungan. Ken Arok
kemudian menikahi Ken Dedes dan mengambil alih jabatan Tunggul Ametung sebagai
akuwu Tumapel. Kemudian pada tahun 1222 Ken Arok mengumumkan berdirinya
Kerajaan Tumapel. Ia bahkan berhasil meruntuhkan Kerajaan Kadiri di bawah
pemerintahan Kertajaya. Anusapati yang telah tumbuh dewasa merasa kurang
disayangi oleh Ken Arok dibanding saudara-saudaranya yang lain. Setelah
mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya ia pun mengetahui bahwa sesungguhnya ia
merupakan anak kandung Tunggul Ametung yang mati dibunuh Ken Arok. Anusapati
juga berhasil mendapatkan keris buatan Mpu Gandring yang dulu digunakan Ken
Arok untuk membunuh ayahnya. Dengan menggunakan keris itu, pembantu Anusapati
yang berasal dari Desa Batil berhasil membunuh Ken Arok saat sedang makan
malam, pada tahun saka 1168 (tahun 1247 M). Anusapati ganti membunuh
pembantunya tersebut untuk menghilangkan jejak. Kepada semua orang ia
mengumumkan bahwa pembantunya telah gila dan mengamuk hingga menewaskan raja.
Sepeninggal Ken Arok, Anusapati naik takhta pada tahun saka 1170 (tahun 1248
M). Pemerintahannya dilanda kegelisahan karena cemas akan ancaman balas dendam
anak-anak Ken Arok. Puri tempat tinggal Anusapati pun diberi pengawalan ketat,
bahkan dikelilingi oleh parit dalam. Meskipun demikian, Tohjaya putra Ken Arok
dari selir bernama Ken Umang tidak kekurangan akal. Suatu hari ia mengajak
Anusapati keluar mengadu ayam. Anusapati menurut tanpa curiga karena hal itu
memang menjadi kegemarannya. Saat Anusapati asyik menyaksikan ayam bertarung,
tiba-tiba Tohjaya menusuknya dengan menggunakan keris Mpu Gandring. Anusapati
pun tewas seketika. Peristiwa itu terjadi pada tahun saka 1171 (tahun 1249 M).
Sepeninggal Anusapati, Tohjaya naik takhta. Namun pemerintahannya hanya
berlangsung singkat karena ia kemudian tewas pada tahun saka 1172 (tahun 1250
M) akibat pemberontakan Ranggawuni putra Anusapati.
Nama Anusapati hanya terdapat dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Naskah
Pararaton ditulis ratusan tahun sesudah zaman Tumapel dan Majapahit. Sedangkan
Nagarakretagama ditulis pada pertengahan masa kejayaan Majapahit (1365). Dalam
beberapa hal, uraian Nagarakretagama cenderung lebih dapat dipercaya daripada
Pararaton, karena waktu penulisannya jauh lebih awal. Jika dalam Pararaton
disebutkan Anusapati mati karena dibunuh Tohjaya, maka Nagarakretagama menulis
Anusapati mati secara wajar. Ada dua dugaan mengapa Nagarakretagama tidak
menceritakan pembunuhan Anusapati. Pertama, karena Nagarakretagama merupakan
naskah pujian untuk keluarga Hayam Wuruk. Pembunuhan Anusapati yang merupakan
leluhur Hayam Wuruk dianggap sebagai aib. Kedua, mungkin Anusapati memang
benar-benar mati secara wajar, bukan karena dibunuh oleh Tohjaya. Nama
Anusapati memang tidak pernah dijumpai dalam prasasti apa pun, sedangkan nama
Tohjaya ditemukan dalam prasasti Mula Malurung tahun 1255 (hanya selisih tujuh
tahun setelah kematian Anusapati). Dalam prasasti itu tokoh Tohjaya disebutkan
menjadi raja Kadiri menggantikan adiknya yang bernama Guningbhaya. Jadi,
pemberitaan Pararaton bahwa Tohjaya adalah raja Tumapel atau Singhasari adalah
keliru. Berdasarkan prasasti tersebut, tokoh Tohjaya mungkin memang tidak
pernah membunuh Anusapati sesuai pemberitaan Nagarakretagama. Jika Tohjaya
benar-benar melakukan kudeta disertai pembunuhan, maka sasarannya pasti bukan
terhadap Anusapati, melainkan terhadap Guningbhaya.
3.
Tohjoyo (1248 M)
Tohjaya adalah putra Ken Arok yang lahir dari selir bernama Ken Umang.
Setelah Ken Arok tewas, anak tirinya yang bernama Anusapati naik takhta di
Tumapel. Tohjaya mengetahui kalau pembunuh ayahnya tidak lain adalah Anusapati
sendiri. Maka, ia pun menyusun rencana balas dendam. Meskipun Anusapati
memperketat pengawalan atas dirinya, namun Tohjaya mampu memanfaatkan
kelemahannya. Suatu hari Tohjaya mengajak Anusapati menyabung ayam. Anusapati
menuruti tanpa curiga karena hal itu memang menjadi kegemarannya. Saat
Anusapati asyik memperhatikan ayam aduan yang sedang bertarung, Tohjaya segera
membunuhnya dengan menggunakan keris Mpu Gandring. Peristiwa itu terjadi tahun
1249. Tohjaya kemudian menjadi raja Tumapel. Karena hasutan pembantunya yang
bernama Pranaraja, ia pun berniat membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni
(putra Anusapati), dan Mahisa Campaka (putra Mahisa Wonga Teleng) yang
dianggapnya berbahaya terhadap kelangsungan takhta. Yang ditugasi untuk
membunuh adalah Lembu Ampal. Namun Lembu Ampal justru berbalik mendukung kedua
pangeran yang hendak dibunuhnya. Ia bahkan berhasil menghimpun dukungan dari
angkatan perang Tumapel untuk bersama mendukung Ranggawuni - Mahisa Campaka.
Maka terjadilah pemberontakan terhadap Tohjaya di istana Tumapel. Tohjaya
tertusuk tombak namun berhasil melarikan diri. Karena lukanya itu, ia akhirnya
meninggal dunia di desa Katang Lumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan). Peristiwa
ini terjadi tahun 1250.
Kisah hidup Tohjaya hanya terdapat dalam Pararaton, namun naskah ini
ditulis ratusan tahun sesudah zaman Kerajaan Tumapel sehingga kebenarannya
perlu untuk dibuktikan. Nagarakretagama yang ditulis tepat pada pertengahan
zaman Majapahit (1365) ternyata sama sekali tidak menyebutkan adanya nama
Tohjaya. Menurut Nagarakretagama, sepeninggal Anusapati yang menjadi raja
selanjutnya adalah Wisnuwardhana (alias Ranggawuni). Nama Tohjaya justru
ditemukan dalam prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan oleh Kertanagara atas
perintah ayahnya yang bernama Maharaja Seminingrat (nama asli Wisnuwardhana
versi prasasti) tahun 1255. Prasasti ini telah membuktikan kalau Tohjaya
merupakan tokoh sejarah yang benar-benar ada, bukan sekadar tokoh fiktif
ciptaan Pararaton. Akan tetapi dalam prasasti itu ditulis bahwa Tohjaya bukan
raja Tumapel atau Singhasari, melainkan raja Kadiri yang menggantikan adiknya,
bernama Guningbhaya. Adapun Guningbhaya menjadi raja setelah menggantikan
kakaknya yang bernama Bhatara Parameswara. Ketiga raja Kadiri tersebut
merupakan paman dari Seminingrat. Selain itu tertulis pula bahwa pendiri
Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang wafat di atas takhta kencana, yaitu
kakek dari Seminingrat.
Pengganti Tohjaya sebagai raja Tumapel sejak tahun 1250 adalah Ranggawuni
bergelar Wisnuwardhana. Namun Nagarakretagama memberitakan bahwa Wisnuwardhana
naik takhta sejak 1248 menggantikan Anusapati. Lagi pula prasasti Mula Malurung
telah membuktikan kalau Tohjaya adalah raja Kadiri. Prasasti Mula Malurung
dikeluarkan tahun 1255 oleh Kertanagara selaku yuwaraja di Kadiri atas perintah
dari Seminingrat (Wisnuwardhana), ayahnya di Tumapel. Rupanya Kertanagara
mendapat hak atas takhta Kadiri karena ibunya yang bernama Waning Hyun adalah
putri Bhatara Parameswara. Nama Mahisa Campaka alias Narasinghamurti putra
Bhatara Parameswara memang tidak terdapat dalam prasasti itu. Nama yang mirip
adalah Narajaya sepupu Wisnuwardhana yang menjadi raja bawahan di Hering. Kiranya
Mahisa Campaka memang tidak memiliki hak atas Kadiri karena mungkin ia hanya
sebagai putra bungsu, atau mungkin ia lahir dari selir ayahnya. Karena pada
kenyataannya takhta Kadiri jatuh pada Kertanagara putra Waning Hyun, kakak
perempuannya. Prasasti Mula Malurung juga menyebutkan kalau Seminingrat
mempersatukan kembali Kerajaan Tumapel sepeninggal Tohjaya. Mungkin sepeninggal
ayahnya yang tewas di atas takhta, Bhatara Parameswara segera memisahkan Kadiri
dari kekuasaan Tumapel. Atau dengan kata lain, ia menolak menjadi bawahan
Anusapati. Jadi, di Jawa Timur kemudian terdapat dua buah kerajaan, dan ini
berlangsung sampai pemerintahan Tohjaya. Baru sepeninggal Tohjaya, Kadiri
kembali dijadikan sebagai negeri bawahan Tumapel oleh Seminingrat dan diserahkan
kepada Kertanagara sebagai yuwaraja di sana.
4.
Ranggawuni (1248-1268 M)
Nama asli Wisnuwardhana adalah Ranggawuni putra Anusapati putra Tunggul
Ametung. Pada tahun 1249 Anusapati tewas oleh kudeta licik yang dilakukan adik
tirinya, bernama Tohjaya putra Ken Arok dari selir. Pada tahun 1250 Tohjaya
dihasut pembantunya yang bernama Pranaraja supaya menyingkirkan kedua
keponakannya, yaitu Ranggawuni dan Mahisa Campaka, yang dianggap bisa menjadi
musuh berbahaya. Tohjaya kemudian memerintahkan pengawalnya, bernama Lembu
Ampal untuk melaksanakan eksekusi. Lembu Ampal gagal melaksanakan tugas karena
kedua pangeran tersebut dilindungi oleh seorang pegawai istana bernama Panji
Patipati. Karena takut mendapat hukuman dari Tohjaya, Lembu Ampal memilih
bergabung dengan kelompok Ranggawuni. Lembu Ampal kemudian melakukan adu domba
di dalam tubuh angkatan perang Singhasari sehingga tercipta kekacauan. Karena
tidak mampu mendamaikan kerusuhan tersebut, Tohjaya berniat menghukum mati para
pemimpin tentaranya. Mendengar keputusan itu, para perwira segera bergabung
dengan kelompok Ranggawuni, tentu saja atas ajakan Lembu Ampal. Setelah
mendapat dukungan dari kaum tentara, Ranggawuni dan Mahisa Campaka memberontak
terhadap kekuasaan Tohjaya. Tohjaya terluka parah dan akhirnya meninggal dalam
pelariannya di desa Katang Lumbang. Setelah pemberontakan tersebut, Ranggawuni
naik takhta bergelar Wisnuwardhana, sedangkan Mahisa Campaka menjadi Ratu
Angabhaya bergelar Narasinghamurti. Adapun Mahisa Campaka adalah putra Mahisa
Wonga Teleng, atau cucu Ken Arok. Pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan
Narasingamurti diibaratkan dua ular dalam satu liang, dan dimaksudkan untuk
menciptakan perdamaian antara keluarga Tunggul Ametung dan keluarga Ken Arok.
Pemerintahan Wisnuwardhana berakhir tahun 1272, setahun setelah peresmian
pelabuhan Canggu di daerah Mojokerto sekarang.
Wisnuwardhana naik takhta tahun 1248 terbukti dengan ditemukannya prasasti
Maribong. Prasasti ini dikeluarkan oleh Wisnuwardhana pada tanggal 23 September
1248. Selain itu, prasasti Mula Malurung (1255) juga menyebutkan bahwa Tohjaya
bukan raja Tumapel atau Singhasari, melainkan raja Kadiri. Baik Nagarakretagama
ataupun Pararaton mengisahkan Wisnuwardhana menghancurkan pemberontakan
Linggapati di Mahibit. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1252. Berita dalam
Nagarakretagama bahwa Kertanagara naik takhta tahun 1254 terbukti keliru,
karena dalam prasasti Mula Malurung pada tahun 1255 Kertanagara masih menjabat
sebagai raja muda di Kadiri, sementara Tumapel atau Singhasari tetap dipimpin
Wisnuwardhana. Mungkin yang dimaksud Kertanagara naik takhta tahun 1254 adalah
sebagai yuwaraja, bukan sebagai maharaja. Menurut prasasti Mula Malurung,
Wisnuwardhana mempersatukan kembali Kerajaan Tumapel dengan Kadiri sepeninggal
Tohjaya. Berita ini tidak pernah disinggung dalam Pararaton ataupun
Nagarakretagama. Kiranya sepeninggal Ken Arok terjadi perpecahan yang
menyebabkan Kadiri pisah dari Tumapel. Tahun kematian Wisnuwardhana menurut
Pararaton adalah 1272, sedangkan menurut Nagarakretagama adalah 1270. Kedua
naskah menyebutkan Wisnuwardhana dicandikan di Waleri sebagai Siwa dan di
Jajagu sebagai Buddha. Namun berdasarkan analisis bukti prasasti, Kertanagara
sudah menjadi raja penuh sekitar tahun 1268. Prasasti-prasastinya yang berangka
tahun 1267 masih menyebut Kertanagara sebagai raja muda.
Nama Ranggawuni sendiri tidak pernah dijumpai dalam prasasti apa pun
sehingga diduga merupakan nama ciptaan Pararaton. Dalam prasasti Mula Malurung
(1255) disebutkan kalau ayah dari Kertanagara bernama Seminingrat. Nama
Seminingrat juga ditemukan dalam prasasti Maribong (1248) sebagai nama lain
Wisnuwardhana. Selain itu prasasti Mula Malurung juga menyebutkan kalau ibu
Kertanagara bernama Waning Hyun yang merupakan sepupu Seminingrat sendiri. Dalam
Prasasti Wurare (1289), Kertanagara menyebut ibunya bernama Jayawardhani. Jadi,
nama Jayawardhani merupakan gelar resmi dari Waning Hyun. Berdasarkan bukti
prasasti tersebut, dapat disimpulkan bahwa, nama asli Wisnuwardhana adalah
Seminingrat, sedangkan Ranggawuni hanyalah nama ciptaan pengarang Pararaton.
5.
Kertanegara (1268-1292
M)
Banyak orang yang belum mengenal figur kepemimpinan Kertanegara.
Kertanegara dilahirkan dari kasta ksatria, Ia merupakan keturunan dari
raja-raja yang berkuasa di Singhasari. Kertanegara merupakan raja terakhir yang
mampu mengusung Singhasari menuju puncak kejayaannya. Kertanegara adalah anak
dari Wisnuwardhana dengan Jayawardhani raja Singhasari yang keempat.
Wisnuwardhana adalah anak dari Anusapati, dan Anusapati adalah anak dari Ken
Dedes dengan Tunggul Ametung. Jadi, dapat dikatakan bahwa Kertanegara adalah
cicit dari Tunggul Ametung. Namun, yang menjadi pendiri sekaligus raja pertama
kerajaan Singhasari adalah Ken Angrok. Ken Angrok adalah anak dari Ken Endok,
anak desa yang berasal dari sebelah timur gunung kawi. Ia adalah anak yang
nakal, suka mencuri, memperkosa bahkan membunuh. Atas anjuran Dahyang Lohgawe,
Ia menghamba kepada Tunggul Ametung di Tumapel. Dalam pararaton dijelaskan
bahwa, ketika Ken Angrok melihat rahsya (anunya) Ken Dedes yang memancarkan
cahaya ketika kainnya tersingkap pada waktu turun dari tandu, menumbuhkan
gairah nafsu birahi Ken Angrok, hingga keinginannya untuk mempersunting Ken
Dedes kemudian membunuh suaminya yaitu Tunggul Ametung. Setelah berhasil
membunuh Tunggul Ametung dan mempersunting Ken Dedes, kemudian Ia menjadi
seorang akuwu di Tumapel. Setelah lama menjadi akuwu di Tumapel, suatu hari Ken
Angrok didatangi para Brahmana dari Daha Kediri. Mereka datang meminta bantuan
kepada Ken Angrok atas tindakan raja Kediri yaitu Kertajaya (dalam sumber babad
tanah Jawi disebut prabu Dandang Gendis). Atas desakan kaum brahmana, akhirnya
berangkatlah Ken Angrok untuk memberontak kepada Kertajaya dengan menggunakan
nama Bathara Guru. Setelah berhasil mengalahkan prabu Dandang Gendis dari
Kediri, Ken Angrok dinobatkan menjadi Raja Singhasari dengan gelar Sri Rajasa
Sang Amurwabhumi atau sebagai Wangsa Girindra, artinya keturunan dari Girindra
atau Siwa. Selama berdiri, kerajaan Singhasari diperintah oleh lima raja
berturut-turut, baik keturunan dari Tunggul Ametung maupun Ken Angrok. Dalam
sejarah Singhasari-Majapahit putra-putri Ken Angrok memegang peranan penting
yakni menurunkan raja-raja Singhasari Majapahit, seperti Mahisa Wonga Teleng
dan Anusapati. Mahisa Wonga Teleng menurunkan Raden Wijaya yang kemudian
menjadi raja pertama Majapahit. Sementara Anusapati menurunkan raja Kertanegara
sebagai raja terakhir yang terkemuka di Singhasari). Dari keterangan di atas,
dapat disimpulkan bahwa raja yang paling terkemuka diantara raja-raja yang
pernah berkuasa di Singhasari adalah Kertanegara. Prasasti “Mula Malurung” yang
berangka tahun 1255 M, menerangkan bahwa pada waktu Kertanegara sebagai putra
mahkota (Narryan Murdhaja), Ia sebagai raja muda yang memerintah di suatu
daerah di bawah bimbingan sang ayah (Wisnuwardhana). Hal ini memberikan
inisiatif tersendiri bagi Kertanegara atas pengalaman-pengalamannya menjadi
seorang pemimpin serta membentuk karakter sifat Kertanegara.
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai
cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268
dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia
dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu,
dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara,
ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih
Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep
(Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian
perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu
yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai
Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan mengirimkan patung Amogapasa ke
Dharmasraya atas perintah raja Kertanegara. Tujuannya untuk menguasai Selat
Malaka. Selain itu juga menaklukkan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan
Barat) dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan
dengan raja Champa, dengan tujuan untuk menahan perluasan kekuasaan Kublai Khan
dari Dinasti Mongol. Kublai Khan menuntut rajaraja di daerah selatan termasuk
Indonesia mengakuinya sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan
melukai utusannya yang bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kublai
Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya dengan mengirikan pasukannya ke
Jawa. Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi
serangan Mongol, maka Jayakatwang menggunakan kesempatan untuk menyerangnya.
Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya - Raja terakhir Kerajaan Kediri.
Serangan dilancarakan oleh Jayakatwang dari dua arah, yakni dari arah utara
merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti. Pasukan
Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk
istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana.
Kertanagera beserta pembesarpembesar istana tewas dalam serangan tersebut.
Raden Wijaya (menantu Kertanegara) berhasil menyelamatkan diri dan menuju
Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja
(Buapati Sumenep). Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat
pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang serta diberikan sebidang tanah yang
bernama Tanah Terik yang nantinya menjadi asal usul Kerajaan Majapahit. Dengan
gugurnya Kertanegara pada tahun 1292, Kerajaan Singasari dikuasai oleh
Jayakatwang. Ini berarti berakhirlah kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan
agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa-Buddha
(Bairawa) di Candi Singasari. Sedangkan arca perwujudannya dikenal dengan nama
Joko Dolog, yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.
B.
KEHIDUPAN KERAJAAN SINGASARI
Kerajaan Singasari merupakan salah satu
kerajaan Hindu-Budha yang sejak dahulu kala terkenal dengan kisah pahit dibalik
kejayaannya. Seperti diketahui Ken Arok mendirikan kerajaan Singasari dengan
menggunakan tipu muslihat menggunakan keris dari Mpu Gandring. Keris ini
merupakan keris kutukan Mpu Gandring yang disebutkan akan membunuh keturunan
Ken Arok hingga tujuh turunan. Faktanya pun hal itu terjadi, Ken Arok dan
keturunannya berebutan dan berbunuhan menggunakan keris Mpu Gandring ini.
Mengenyampingkan permasalahan mengenai keris Mpu Gandring, penting untuk
diketahui bahwa bagaimanakah gambaran kehidupan rakyat kerajaan Singasari dari
berbagai aspek kehidupan. Setelah Ken Arok naik menjadi raja keadaan ekonomi
rakyat Kerajaan Singasari belum diketahui bagaimana keadaannya. Hanya saja
menurut catatan sejarah, rakyat dimasa kepemimpinan Ken Arok mengalami
masa-masa yang sejahtera. Rakyat juga diketahui hidup makmur dan rukun. Hal
inilah yang kemudian disinyalir menjadi penyebab kaum Brahmana memilih mendukung
Ken Arok saat terjadi peperangan dengan Kerajaan Kediri. Sedangkan di masa
Anusapati, diketahui bahwa Kerajaan Singasari tidak mengalami kemajuan
melainkan kemunduran. Kesejahteraan masyarakat tidak dijaga dan diperhatikan
oleh Anusapati. Hobinya dalam melakukan adu ayam membuatnya melupakan pekerjaan
dan tanggung jawabnya sebagai raja. Hal inilah yang menyebabkan Anusapati pun
meninggal. Karena hobinya beradu ayam, Anusapati tidak memiliki rasa curiga
ketika Tohjoyo mengundangnya beradu ayam untuk membunuhnya. Pada masa
pemerintahan Tohjoyo yang singkat tidak dapat dinilai bagaimana kondisi
kehidupan masyarakat dari beberapa aspek. Hanya saja kehidupan masyarakat terus
membaik dengan setelah Ranggawuni menduduki tahta. Kebijaksanaannya
mendatangkan banyak kemakmuran yang dirasakan oleh rakyat. Tanggung jawab dan
profesionalitas Ranggawuni pun diturunkan hingga masa pemerintahan anaknya
Kertanegara. Akhirnya, Kertanegara pun berhasil mewujudkan cita-citanya hingga
hampir sempurna. Seperti diketahui Kertanegara berhasil menyatukan Jawa dan
Madura hingga Bali dan Nusantara, bahkan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku
menjadi satu kerajaan yaitu Kerajaan Singasari.
Dari segi sosial, keihdupan masyarakat
Singasari mengalami masalah naik turun. Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di
Tumapel, dia berusaha meningkatkan kehiduan masyarakatnya. Banyak daerah-daerah
yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada pemerintahan Anusapati, kehidupan
sosial masyarakat kurang mendapat perhatian karenaia larut dalam kegemarannya
menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan masyarakatnya mulai diatur
rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya.
Upaya yang ditempu Raja Kertanegara dapat dilihat daripelaksanaan politik dalam
dan luar negeri.
Politik dalam Negeri:
1)
Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti
Mahapatih Raganata digantikan oleh Aragani,dll.
2)
Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti
mengangkat putra Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi
menantunya.
3)
Memperkuat angkatan perang.
Politik luar Negeri:
1)
Melaksanakan ekspedisi pamalayu untuk menguasai Kerajaan
Melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
2)
Menguasai Bali.
3)
Menguasai Jawa Barat.
4)
Menguasai Malaka dan Kalimantan.
Peninggalan kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain
berupa prasasti, candi, dan patung. Candi peninggalan Kerajaan Singasari,
antara lain Candi Jago, Candi Kidal, dan Candi Singasari. Adapun patung-patung
yang berhasil ditemukan sebagai hasil kebudayaan Kerajaan Singasari, antara
lain Patung Ken Dedes sebagai Dewi Prajnaparamita lambang dewi kesuburan dan
Patung Kertanegara sebagai Amoghapasa. Rakyat Singasari mengalami pasang surut
kehidupan sejak zaman Ken Arok sampai masa pemerintahan Wisnuwardhana. Pada
masa-masa pemerintahan Ken Arok, kehidupan sosial masyarakat sangat terjamin.
Kemakmuran dan keteraturan kehidupan sosial masyarakat Singasari kemungkinan
yang menyebabkan para brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok
ataskekejaman rajanya. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Anusapati kehidupan
masyarakat mulai terabaikan. Hal itu disebabkan raja sangat gemar menyabung
ayam hingga melupakan pembangunan kerajaan. Keadaan rakyat Singasari mulai
berangsur-angsur membaik setelah Wisnuwardhana naik takhta Singasari.
Kemakmuran makin dapat dirasakan rakyat Singasari setelah Kertanegara menjadi
raja. Pada masa pemerintahan Kertanegara, kerajaan dibangun dengan baik. Dengan
demikian, rakyat dapat hidup aman dan sejahtera. Dengan kerja keras dan usaha
yang tidak henti-henti, cita-cita Kertanegara ingin menyatukan seluruh wilayah
Nusantara di bawah naungan Singasari tercapai juga walaupun belum sempurna.
Daerah kekuasaannya, meliputi Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Melayu,
Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Singosari terdapat 2
agama yang hidup dimasanya Hindu dan Buddha. Konon juga ada aliran Tantrayana
yang merupakan campuran antara Hindu dan Budha. Terbukti diantaranya adanya
Candi Syiwa-Buddha. Selain itu banyak juga perubahan dalam tubuh kerajaan
Singasari diantaranya ialah membentuk badan pelaksana. Kekuasaan tertinggi di
tangan raja dan dibawahnya ada tim penasihat yang terdiri dari Rakryan i Hino,
Rakryan i Sirikan, dan rakryan i Halu. Kertanegara juga membuat beberapa
jabatan untuk membantunya memerintah diantaranya Rakryan Mapatih, Rakryan
Demung dan Rakryan Kanuruhan. Selain itu, ada pegawai-pegawai rendahan.
C.
KEHIDUPAN EKONOMI
Mengenai kehidupan perekonomian Singosari
tidak begitu jelas diketahui. Akan tetapi mengingat kerajaan tersebut terletak
di tepi sungai Brantas (Jawa Timur), kemungkinan masalah ekonomi tidak jauh
berbeda dari kerajaan – kerajaan terdahulunya, yaitu secara langsung maupun
secara tidak langsung rakyat ikut ambil bagian dalam dunia pelayaran. Keadaan
ini juga didukung oleh hasil – hasil bumi. Kehidupan ekonominya juga didominasi
dengan bertani, berdagang, dan pengrajin. Pada masa itu, perdagangan
antarpulau, antarwilayah, bahkan dengan Negara lain sudah terselenggara dengan
baik. Tidak banyak sumber prasasti dan berita dari negeri asing yang dapat
memberi keterangan secara jelas kehidupan perekonomian rakyat Singasari. Akan
tetapi, berdasarkan analisis bahwa pusat Kerajaan Singasari berada di sekitar
Lembah Sungai Brantas dapat diduga bahwa rakyat Singasari banyak menggantungkan
kehidupan pada sektor pertanian. Keadaan itu juga didukung oleh hasil bumi yang
melimpah sehingga menyebabkan Raja Kertanegara memperluas wilayah terutama
tempat-tempat yang strategis untuk lalu lintas perdagangan. Keberadaan Sungai
Brantas dapat juga digunakan sebagai sarana lalu lintas perdagangan dari
wilayah pedalaman dengan dunia luar. Dengan demikian, perdagangan juga menjadi
andalan bagi pengembangan perekonomian Kerajaan Singasari. Peninggalan
kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain berupa prasasti, candi, dan patung.
Candi peninggalan Kerajaan Singasari, antara lain Candi Jago, Candi Kidal, dan
Candi Singasari. Adapun patung-patung yang berhasil ditemukan sebagai hasil
kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain Patung Ken Dedes sebagai Dewi
Prajnaparamita lambang dewi kesuburan dan Patung Kertanegara sebagai
Amoghapasa.
D.
HUBUNGAN KERAJAAN SINGASARI DENGAN KERAJAAN LAIN
Ø KERAJAAN MAJAPAHIT DAN SINGASARI
Pararaton, Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu
mengisahkan Raden Wijaya cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara
lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara),
ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit.
Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan
Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri.
Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara
Mongol keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan
Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota
Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.
Ø KERAJAAN KEDIRI DAN SINGASARI
Pada masa itu Kertajaya (tahun 1222) mengalami
pertentangan dengan kaum Brahmana. Kaum Brahmana menggangap Kertajaya telah
melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana
meminta perlindungan Ken Arok, akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga
bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri. Perang
antara Kerajaan Kediri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Dalam peperangan
tersebut Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai
berakhirnya masa kejayaan kerajaan Kediri. yang sejak saat itu kemudian Kediri
menjadi bawahan Tumapel atau Singoasari. Pada masa Kertanegara hubungan Kediri
dan Singasari membaik. Kertanegara membuat upaya dalam rangka meningkatkan
taraf kehidupan masyarakatnya dan salah satu upayanya yaitu berbuat baik
terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra Jayakatwang (Raja
Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya. Akan tetapi pada tahun 1292
terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu,
sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu
Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi
raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Alasan Jayakatwang memberontak
terhadap Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa
lalu yang mana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil
membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun
hanya bertahan selama satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan
oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya. Kedua
kerajaan tersebut pun runtuh dengan alasan yang sama, yaitu serangan balas
dendam masa lalu.
Ø KERAJAAN MEDANG KAMULAN DAN SINGASARI
pada tahun 1019, merupakan masa pemimpinan air langga
kerajaan medang kamula merupakan satu wilayah. setelah berhasil menjayakan
kerajaannya , raja air langga mulai menua dan memutuskan untuk turun dari
tahtanya dan memberikan pada anak-anaknya. seharusnya yang menjadi raja adalah
putrinya yang bernama sri sanggramawijaya namun dia lebih memilih untuk menjadi
petama. kekuasaan di berikan pada anak lainnya. untuk mencegak terjadinya
perebutan kekuasaan raja air langga memecah kerajaan medang kamula menjadi dua
bagian yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri
(Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. namun usaha tersebut berbuah sia-sia. kedua
kerajaan tersebut saling menyerang satu sama lain hingga jatuhnya kerajaan
janggala oleh kerajaan kediri dan di satukan kembali menjadi kerjaan kediri.
Ø KERAJAAN MONGOL DAN SINGASARI
Mula-mula, utusan tersebut tidak dihiraukan
oleh Kertanegara. Akan tetapi, tuntutan dari utusan Kubilai Khan tahun 1289,
yang bernama Meng Chi, oleh Kertanegara ditolak mentah-mentah. Utusan Cina
tersebut dilukai mukanya oleh Kertanegara. Perlakuan Kertanegara tersebut
dianggap oleh Kubilai Khan sebagai penghinaan dan pernyataan perang Singasari
atas kerajaaan Mongol. Tiga tahun kemudian, yaitu tahun1292, Kubilai Khan
mengirimkan pasukan ke Jawa yang dipimpin oleh tiga orang panglima perang,
Shun-pi, Ihen-mi-shin, dan Kau Hsing. Untuk menghadapi serangan tersebut
tentara Singasari dikerahkan ke pantai-pantai utara. Ada beberapa penyebab dari
munculnya perselisihan antara kedua kerajaan ini, yaitu; 1. Timbulnya Dendam
lama Namun, peperangan antara pasukan Singasari dengan tentara Cina tidak
sempat terjadi karena sebelum tentara Cina tiba di Jawa timbul serangan dari
pasukan raja Jayakatwang, salah seorang keturunan raja Kertajaya (Kediri), yang
menuntut balas dendam kepada keluarga raja Singasari atas kematian leluhurnya
yang dilakukan oleh Ken Arok, pendiri kerajaan Singasari. Rupanya setelah
Kertajaya mati, kerajaan Kediri masih tetap berdiri sebagai bawahan Singasari.
2. Jalannya Perang Jayakatwang Vs Kertanegara Menurut Kitab Pararaton, serangan
Jayakatwang dilakukan pada bulan Mei dan Juni 1292 dari dua arah, utara dan
selatan. Serangan dari utara dimaksudkan untuk menarik pasukan Singasari keluar
dari keraton. Pasukan Singasari yang dipimpin oleh menantu Kertanegara dan cucu
Mahesa Cempaka, yaitu Raden Wijaya berhasil dipancing keluar dan terus mengejar
pasukan Jayakatwang yang terus mundur. Dalam keadaan keraton terbuka dari
penjagaan pasukan Raden Wijaya, pasukan Jayakatwang dari arah selatan berhasil
masuk keraton dan membunuh raja Kertanegara dan bersama peMbesar keraton.
Dengan terbunuhnya Kertanegara, berakhirlah kerajaan Singasari. Kertanegara
dicandikan di salah satu tempat yang disebut Singasari. 3. Kekalahan
Kertanegara Menurut prasasti Kurdadu, setelah terbunuhnya Kertanegara, Raden
Wijaya menyelamatkan diri dengan menyeberang ke Madura berkat bantuan lurah
desa Kurdadu. Di sana, dia mendapat perlindungan dari Aryawiraraja. Atas
jaminan Aryawiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dari Jayakatwang.
Sebagai tanda pengampunannya, akhirnya Raden Wijaya diberi sebidang tanah oleh
Jayakatwang di daerah Tarik yang kemudian dikembangkannya menjadi sebuah desa
yang diberinya nama Majapahit. Desa tersebut menjadi cikal bakal kerajaan
Majapahit.
PENINGGALAN KERAJAAN SINGASARI
v Candi Singasari
Candi Singhasari merupakan candi Hindu -
Buddha peninggalan bersejarah dari Kerajaan Singhasari berlokasi di Desa
Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia,
sekitar 10 km dari Kota Malang. Candi ini berada pada lembah di antara Pegunungan
Tengger dan Gunung Arjuna pada ketinggian 512m di atas permukaan laut. Cara
pembuatan Candi Singhasari ini menggunakan sistem menumpuk batu andhesit hingga
ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun
ke bawah. Candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi raja
Singasari terakhir, Kertanegara, yang mangkat pada tahun 1292 akibat istananya
diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin Jayakatwang. Kuat dugaan, Candi
ini tidak pernah selesai dibangun.[1] Kapan tepatnya Candi Singhasari didirikan
masih belum diketahui, namun para ahli purbakala memperkirakan Candi ini
dibangun sekitar tahun 1300 M, sebagai persembahan untuk menghormati Raja
Kertanegara dari Singhasari. Setidaknya ada dua candi di Jawa Timur yang
dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, yaitu Candi Jawi dan Candi
Singhasari. Sebagaimana halnya Candi Jawi, Candi Singhasari juga merupakan
candi Syiwa. Hal ini terlihat dari adanya beberapa arca Syiwa di halaman Candi.
Komplek percandian menempati areal 200 m × 400 m dan terdiri dari beberapa
candi. Candi yang juga dikenal dengan nama Candi Cungkup atau Candi Menara ini,
menunjukkan bahwa Candi Singasari adalah candi yang tertinggi pada masanya,
setidaknya dibandingkan dengan candi lain di sekelilingnya. Namun saat ini di
kawasan Singhasari hanya Candi Singhasari yang masih tersisa, sedangkan candi
lainnya telah lenyap tak berbekas. Bangunan Candi Singasari terletak di tengah
halaman. Tubuh candi berdiri di atas batur kaki setinggi sekitar 1,5 m, tanpa
hiasan atau relief pada kaki candi. Tangga naik ke selasar di kaki candi tidak
diapit oleh pipi tangga dengan hiasan makara seperti yang terdapat pada
candi-candi lain. Pintu masuk ke ruangan di tengah tubuh candi menghadap ke
selatan, terletak pada sisi depan bilik penampil (bilik kecil yang menjorok ke
depan). Pintu masuk ini terlihat sederhana tanpa bingkai berhiaskan pahatan. Di
atas ambang pintu terdapat pahatan kepala Kala yang juga sangat sederhana
pahatannya. Adanya beberapa pahatan dan relief yang sangat sederhana
menimbulkan dugaan bahwa pembangunan Candi Singhasari belum sepenuhnya
terselesaikan. Di kiri dan kanan pintu bilik pintu, agak ke belakang, terdapat
relung tempat arca. Ambang relung juga tanpa bingkai dan hiasan kepala Kala.
Relung serupa juga terdapat di ketiga sisi lain tubuh Candi Singhasari. Ukuran
relung lebih besar, dilengkapi dengan bilik penampil dan di atas ambangnya
terdapat hiasan kepala Kala yang sederhana. Di tengah ruangan utama terdapat
yoni yang sudah rusak bagian atasnya. Pada kaki yoni juga tidak terdapat
pahatan apapun. Sepintas bangunan Candi Singasari terlihat seolah bersusun dua,
karena bagian bawah atap candi berbentuk persegi, menyerupai ruangan kecil
dengan relung di masing-masing sisi. Tampaknya relung-relung tersebut semula
berisi arca, namun saat ini kempatnya dalam keadaan kosong. Di atas setiap
ambang 'pintu' relung terdapat hiasan kepala Kala dengan pahatan yang lebih
rumit dibandingkan dengan yang ada di atas ambang pintu masuk dan relung di
tubuh candi. Puncak atap sendiri berbentuk meru bersusun, makin ke atas makin
mengecil. Sebagian puncak atap terlihat sudah runtuh. Di bagian dalam Candi
Singosari terdapat sebuah ruangan yang digunakan untuk menempatkan sebuah arca
Lingga dan Yoni. Sedangkan pada tiap sisinya terdapat arca Ganesha di sebelah
timur, arca Resi Agastya di sisi selatan, dan arca Durga di sisi sebelah utara,
sayang arca-arca yang ada hanya tinggal arca Agastya, sedangkan yang lain sudah
tidak ada. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang
arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut Dwarapala) dan posisi gada
menghadap ke bawah, ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih
ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang
bagi semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di tempat
ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun.
Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan.
Letak candi Singhasari yang dekat dengan kedua arca Dwarapala menjadi menarik
ketika dikaitkan dengan ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam
di puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan
Ganesha (atau Ganapati) sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan
Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh
Batari Gori (atau Gaurī). Karena letak candi Singhasari yang sangat dekat
dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke Gunung Arjuna,
penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan gunung Arjuna
dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu. Bangunan
candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas
bujur sangkar berukuran 14 m × 14 m dan tinggi candi 15 m. Candi ini kaya akan
ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan
yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang
sudah hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang
berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini juga berdiri arca
Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum
Nasional Indonesia, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika
Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.
v Candi Jago
Nama Candi Jago sebenarnya berasal dari kata
"Jajaghu", yang didirikan pada masa Kerajaan Singhasari pada abad
ke-13. Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang
digunakan untuk menyebut tempat suci. Candi ini berlokasi di Dusun Jago, Desa
Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur atau sekitar 22 km
dari Kota Malang, pada koordinat 8°0′20.81″S 112°45′50.82″E. Candi ini cukup
unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat karena
tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di
candi ini. Secara keseluruhan bangunan Candi ini tersusun atas bahan batu
andesit. Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya
memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago
tampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian
kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras.
Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga.
Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum
diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau
Pagoda. Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita
Khresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta
cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan
mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana). Pada sudut kiri
(barat laut) Candi Jago terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita
Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan
candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh
seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah
perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar
dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah
mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi
makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur
dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang. Pada sudut timur laut
terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi
kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha.
Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita
ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang
raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan
menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha,
akhirnya keinginan raksasa terkabul. Salah satu patung yang awalnya terdapat
pada Candi Jago, yang merupakan perlambangan Dewi Bhrkuti Pada teras ketiga
terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi
Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa
Niwatakawaca. Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang
terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya
dengan cerita Kresnayana. Relief ini berkisah tentang peperangan antara raja
Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu
dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.
v Candi Sumberawan
Candi Sumberawan hanya berupa sebuah stupa,
berlokasi di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari. Candi ini merupakan peninggalan
Kerajaan Singhasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu. Candi ini
dibuat dari batu andesit dengan ukuran panjang 6,25 m, lebar 6,25 m, dan tinggi
5,23 m, dibangun pada ketinggian 650 m di atas permukaan laut, di kaki bukit
Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di
dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama
Candi Rawan. Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904. Pada
tahun 1935 diadakan kunjungan oleh peneliti dari Dinas Purbakala. Pada zaman
Hindia Belanda pada tahun 1937 diadakan pemugaran pada bagian kaki candi,
sedangkan sisanya direkonstruksi secara darurat. Candi Sumberawan merupakan
satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa Timur. Batur candi berdenah bujur
sangkar, tidak memiliki tangga naik dan polos tidak berelief. Candi ini terdiri
dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat
selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi
berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi
delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang
puncaknya telah hilang. Karena ada beberapa kesulitan dalam perencanaan kembali
bagian teratas dari tubuh candi, maka terpaksa bagian tersebut tidak dipasang
kembali. Diduga dulu pada puncaknya tidak dipasang atau dihias dengan payung
atau chattra, karena sisa-sisanya tidak ditemukan sama sekali. Candi Sumberawan
tidak memiliki tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan untuk
menyimpan benda suci. Jadi, hanya bentuk luarnya saja yang berupa stupa, tetapi
fungsinya tidak seperti lazimnya stupa yang sesungguhnya. Diperkirakan candi
ini dahulu memang didirikannya untuk pemujaan. Para ahli purbakala
memperkirakan Candi Sumberawan dulunya bernama Kasurangganan, sebuah nama yang
terkenal dalam kitab Negarakertagama. Tempat tersebut telah dikunjungi Hayam
Wuruk pada tahun 1359 masehi, sewaktu ia mengadakan perjalanan keliling. Dari
bentuk-bentuk yang tertulis pada bagian batur dan dagoba (stupanya) dapat
diperkirakan bahwa bangunan Candi Sumberawan didirikan sekitar abad 14 sampai
15 masehi yaitu pada periode Majapahit. Bentuk stupa pada Candi Sumberawan ini
menunjukkan latar belakang keagamaan yang bersifat Buddhisme.
v Arca Dwarapala
Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau
pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau monster. Biasanya
dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain untuk melindungi
tempat suci atau tempat keramat di dalamnya. Dwarapala biasanya digambarkan
sebagai makhluk yang menyeramkan. Bergantung pada kemakmuran suatu kuil, jumlah
arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok. Dwarapala
terbesar di Jawa terdapat di Singosari terbuat dari batu andesit utuh setinggi
3,7 meter. Di Pulau Jawa dan Bali arca dwarapala biasanya diukir dari batu
andesit, berperawakan gemuk dan digambarkan dalam posisi tubuh setengah
berlutut, menggenggam senjata gada. Sedangkan dwarapala di Kamboja dan Thailand
memiliki perawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus
memegang gada di tengah tepat di antara kedua kakinya. Patung dwarapala di
Thailand dibuat dari tembikar tanah liat yang dilapisi glazur pucat susu.
Patung seperti ini dibuat pada masa Kerajaan Sukhothai dan Ayutthaya (abad
ke-14 hingga ke-15) diproduksi oleh beberapa tempat pembakaran tembikar di
Thailand utara.[1] Bangunan suci yang kecil biasanya memiliki hanya satu arca
dwarapala. Sering kali dwarapala diletakkan berpasangan di antara gerbang
masuk. beberapa situs bangunan suci yang lebih besar memiliki empat, delapan,
bahkan dua belas arca dwarapala yang menjaga empat penjuru mata angin sebagai
Lokapala, dewa penjaga empat atau delapan penjuru mata angin. Dalam budaya
Jawa, dwarapala dijadikan figur penjaga keraton, misalnya dapat ditemukan di
gerbang masuk Keraton Yogyakarta dan gerbang Kamandungan Lor Keraton Surakarta.
v Prasasti Manjusri
Prasasti Manjusri merupakan manuskrip yang
dipahatkan pada bagian belakang Arca Manjusri, bertarikh 1343, pada awalnya
ditempatkan di Candi Jago (sekarang tersimpan di Museum Nasional dengan nomor
inventaris D. 214). Candi Jago atau Candi Tumpang atau Candi Jinalaya (pura)
merupakan tempat asalnya patung Manjusri ini[1]. Candi tersebut mula-mula
didirikan atas perintah raja Kertanagara untuk menghormati ayahandanya, raja
Wisnuwardhana yang mangkat pada tahun 1268. Berdasarkan tafsiran Bosch dari tulisan pada
prasasti tersebut, kemungkinan Adityawarman mendirikan candi tambahan di
lapangan Candi Jago tersebut, atau mungkin pula candi yang didirikan tahun 1280
sudah runtuh dan digantikan dengan candi baru. Tidak adanya sisa-sisa bangunan
besar di samping Candi Jago yang sekarang, sehingga menunjukkan penjelasan yang
kedua lebih masuk akal. Hal ini didukung pula oleh gaya relief dan ukiran pada
candi tersebut, menurut analisis Stutterheim, membuktikan bahwa candi yang
sekarang ini lebih baru daripada abad ke-13[2]. Karakter Manjusri dianggap
sebagai personifikasi dari kebijaksanaan transenden. Dia duduk di atas takhta berhiasan
teratai yang gemerlapan, pada tangan kirinya ia memegang sebuah buku (sebuah
naskah daun palem), tangan kanannya memegang pedang (yang bermakna untuk
melawan kegelapan), dan pada dadanya dilingkari tali. Ia juga dikelilingi oleh
empat dewa, yang semuanya bermakna replika dirinya sendiri.
v Prasasti Mula Malurung
Prasasti Mula Malurung adalah piagam
pengesahan penganugrahan desa Mula dan desa Malurung untuk tokoh bernama
Pranaraja. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan
Kertanagara pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya
Wisnuwardhana raja Singhasari. Kumpulan lempengan Prasasti Mula Malurung
ditemukan pada dua waktu yang berbeda. Sebanyak sepuluh lempeng ditemukan pada
tahun 1975 di dekat kota Kediri, Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Mei 2001,
kembali ditemukan tiga lempeng di lapak penjual barang loak, tak jauh dari
lokasi penemuan sebelumnya. Pranaraja yang mendapat hadiah desa Mula dan desa
Malurung disebutkan sebagai seorang pegawai kerajaan Kadiri yang setia dan
rajin. Ia mengabdi pada tiga raja sebelum Kertanagara, yaitu Bhatara
Parameswara, Guningbhaya, dan Tohjaya. Adapun Kertanagara saat itu (1255) baru
menjadi raja bawahan di Kadiri, belum menjadi raja Singhasari. Hadiah untuk
Pranaraja telah dijanjikan oleh Seminingrat raja Tumapel. Seminingrat lalu
memerintahkan putranya, Kertanagara untuk melaksanakannya. Seminingrat
merupakan nama lain dari Raja Wisnuwardhana. Tokoh bernama Pranaraja juga
ditemukan dalam Pararaton, yaitu nama seorang pembantu Tohjaya yang mengusulkan
supaya Ranggawuni dan Mahisa Campaka dibunuh. Namun pengarang Pararaton
mengisahkan Pranaraja sebagai seorang penghasut.
v Prasasti Singasari
Prasasti Singasari, yang bertarikh tahun 1351
M, ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekarang disimpan
di Museum Gajah. Ditulis dengan Aksara Jawa. Prasasti ini ditulis untuk
mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi pemakaman yang dilaksanakan oleh
Mahapatih Gajah Mada. Paruh pertama prasasti ini merupakan pentarikhan tanggal
yang sangat terperinci, termasuk pemaparan letak benda-benda angkasa. Paruh
kedua mengemukakan maksud prasasti ini, yaitu sebagai pariwara pembangunan
sebuah caitya.
v Candi Jawi
Candi Jawi (nama asli: Jajawa) adalah candi
yang dibangun sekitar abad ke-13 dan merupakan peninggalan bersejarah
Hindu-Buddha Kerajaan Singhasari yang terletak di terletak di kaki Gunung
Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur,
Indonesia, sekitar 31 kilometer dari kota Pasuruan. Candi ini terletak di
pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan - Kecamatan Prigen dan
Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat
peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan tempat pedharmaan atau
penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Sebagian dari abu
tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini ada hubungannya
dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja Kertanegara. Candi Jawi didirikan atas perintah raja
terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat
beragama Siwa-Buddha. Raja Kartanegara adalah seorang penganut ajaran
sinkretisme Siwa-Buddha. Alasan Kertanegara membangun candi Jawi jauh dari
pusat kerajaan diduga karena di kawasan ini pengikut ajaran Siwa-Buddha sangat
kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai
raja yang masyhur, ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji
Wijayakrama, misalnya, menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana Bayangkara.
Negarakertagama mencatat adanya pemberontakan Cayaraja. Ada dugaan bahwa
kawasan Candi Jawi dijadikan basis oleh pendukung Kertanegara. Dugaan ini
timbul dari kisah sejarah bahwa saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara,
melarikan diri setelah Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari
Gelang-gelang (daerah Kediri), dia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum
akhirnya mengungsi ke Madura.
v Prasasti Wurare
Prasasti Wurare adalah sebuah prasasti yang
isinya memperingati penobatan arca Mahaksobhya di sebuah tempat bernama Wurare
(sehingga prasastinya disebut Prasasti Wurare). Prasasti ditulis dalam bahasa
Sansekerta, dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289. Arca tersebut
sebagai penghormatan dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari kerajaan
Singhasari, yang dianggap oleh keturunannya telah mencapai derajat Jina (Buddha
Agung). Sedangkan tulisan prasastinya terletak di alas lapik arca Buddha
tersebut, yang ditulis melingkar pada bagian bawahnya. Prasasti berbentuk sajak
19 bait, yang di antaranya menceritakan tentang seorang pendeta sakti bernama
Arrya Bharad, yang membelah tanah Jawa menjadi dua kerajaan dengan air ajaib
dari kendinya, sehingga masing-masing belahan menjadi Janggala dan Pangjalu.
Pembelahan dilakukan untuk menghindari perang saudara antara dua pangeran yang
ingin berperang memperebutkan kekuasaan. Arca mulanya ditemukan di daerah
Kandang Gajak. Kandang Gajak termasuk dalam wilayah desa Bejijong, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Pada tahun 1817, arca dipindahkan ke Surabaya
oleh Residen Baron A.M. Th. de Salis, dan saat ini terdapat di Taman Apsari,
dekat pusat Kota Surabaya, Jawa Timur.
v Candi Kidal
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan
dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas
jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20
tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai
bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari
kutukan Mpu Gandring. Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa
Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat
cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari
perbudakan. Sampai sekarang candi masih terjaga dan terawat. Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur
kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan
berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk
menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran
kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh
serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah
beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar
dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang
bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana. Dari daftar
buku pengunjung yang ada tampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya
candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh
di pedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada
buku-buku panduan pariwisata. Namun candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa
kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal
terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi tampak
agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga
masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap
candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan
medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas
3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai
permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu)
atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak
luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu
disungging dengan berlian kecil. Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang
dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek
Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala
Candi Kidal tampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan
tampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya
taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut
kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka
sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi. Di sekeliling candi terdapat sisa-sisa fondasi dari sebuah tembok keliling
yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat
tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut
namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari
perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi, tampak candi
kompleks Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang
ini. Apakah dataran candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari
bencana alam seperti banjir atau gunung meletus tidak dapat diketahui dengan
pasti. Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan
candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini
karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad
XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan
(Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi
melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi
Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya,
Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum
pernah ditemukan. Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan
cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan
masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan
Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang
perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air
suci amerta. Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi
Sukuh (lereng utara G. Lawu). Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada
waktu berkembang pesat agama Hindu aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada
periode kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan,
setelah meninggal diujudkan sebagai dewa Wisnu pada candi Belahan dan
Jolotundo, dan patung Wisnu di atas Garuda paling indah sekarang masih
tersimpan di museum Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan. Narasi
cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing
terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk.
Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai
dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief
pertama menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan
Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong
seorang wanita. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang
paling indah dan masih utuh. Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2
bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan
Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah
harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang di
antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini
kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang
sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah
pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak
saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh
ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda
untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama). Ketika Garuda tumbuh besar,
dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara
angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda
Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular
tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini.
Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di
kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu". Garuda
menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu
saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah
perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat
kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan.
Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka
Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan
syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya.
Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti tampak pada
patung-patung Wisnu yang umumnya duduk di atas Garuda. Garuda turun kembali ke
bumi dengan amerta. (relief kedua). Dengan bekal air suci amerta inilah
akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini
digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong
ibunya dan bebas dari perbudakan. Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa
Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi
Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta
masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja
Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan
Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb. Dalam filosofi Jawa asli, candi
juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali
suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan
konsep Dewaraja yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan
prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan
legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi,
dan lain lain. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab
Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati
dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih
tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal.
Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan
Anusapati?. Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada
keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief
Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya,
Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan
belum sepenuhnya menjadi wanita utama. Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan
bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen –
Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor
hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat
menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul
Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang
sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya. Hal ini
terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan
Tumapel melihat mengeluarkan sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah
diberitahu oleh pendeta Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar
demikian adalah wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan
raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisi Ken Arok maka diapun membunuh
Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah
mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang dan menurut cerita
tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya daripada Ken Dedes; Sehingga Ken
Dedes diabaikan. Berlandaskan uraian di atas, maka pemberian relief Garudeya
pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang
cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai
ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita sempurna lepas dari
penderitaan dan nestapa.
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian materi diatas dapat ditarik sebuah
kesimpulan jika Kerajaan Singasari itu terletak di daerah Tumapel, yang di
kuasai oleh seorang akuwu (bupati). Letaknya di daerah pegunungan yang subur di
wilayah Malang dengan pelabuhan bernama Pasuruan. Dari daerah inilah Kerajaan
Singasari berkembang dan bahkan menjadi sebuah kerajaa besar di Jawa Timur.
Kerajaan Sigasari dipimpin oleh raja-raja termasyur seperti : Ken arok, Anusapati,
Tohjoyo, Ranggawuni dan Kertanegara. .Dari segi sosial, kehidupan masyarakat
Singasari mengalami masa naik turun dan seringkali mengalami berbagai masalah,
namun hal itu selalu bisa di atasi. Runtuhnya Singasari diawali dengan adanya
sengketa yang terjadi dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa
perebutan kekuasaan. Hubungan antara Singasari dan Majapahit adalah setelah
Singasari runtuh maka di bangunlah kerajaan Majapahit sebagai kelanjutannya. Jadi perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan
berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang terjadi
dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan. Pada
saat itu Kerajaan Singasari sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa.
Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292
terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu,
sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu
Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi
raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari
pun berakhir.